Diskusi adalah salah satu aktivitas yang saya sukai. Dari
diskusi, saya merasa mendapatkan banyak informasi baru mengenai berbagai
hal dan biasanya bila fokus diskusi itu menarik, saya akan menyimpannya
di gudang data memori saya untuk jangka waktu yang lama.
Sebagaimana diskusi yang berlangsung pada pagi hari tadi, Selasa, 29
September 2009. Saat baru masuk ruangan kantor, tiba-tiba bel handphone
saya bersuara nyaring.
“Om, nggak ngopi ta?” Wah, ini ajakan yang dulu biasa saya dengar
saat-saat pagi setelah kami masuk kantor pada pukul tujuh. Hampir setiap
hari kami ngopi untuk menambah kebugaran tubuh sebelum memulai
aktivitas kerja. Namun, karena berbagai fokus yang menyita perhatian
ritual kami untuk ngopi bareng ini pun terlupakan. Jadi ajakan pagi ini
pun adalah ajakan yang istimewa. Apalagi yang mengajak pun sahabat
karib yang begitu istimewa. Nama samarannya di blog adalah “Mas
Kumitir.”
Diskusi dengan mas Kumitir bagi saya pribadi adalah wahana untuk
tukar kawruh. Kenapa tukar kawruh? Ya, antara saya dan Mas Kumitir—dan
juga para pembaca—, sama-sama merasa seorang pejalan spiritual yang
cubluk alias bodoh sehingga butuh interaksi dan komunikasi. Sekaligus
untuk mempertanyakan pada diri masing-masing, sampai sejauh mana
perjalanan yang telah ditempuh oleh masing-masing pribadi.
Mas Kumitir adalah pengasuh blog http://www.alangalngkumitir,wordpress.com.
Awalnya, gagasan awal pendirian blog ini adalah dari kami berdua saat
batin membutuhkan wahana menumpahkan gagasan, ide dan wacana. Sekaligus
pengalaman dan pemahaman yang telah kita capai.
Kebetulan, saya mengenal dunia blog lebih awal dari dia, dan
pengalaman teknis ini saya manfaatkan untuk sign in dan menata ruangan
wadah blog. (Belakangan, saya malah kalah canggih dari dia soal mengutak
atik wordpress ini hehe). Kerjasama pun kita teken (hehehe… kayak
direktur saja). Mas Kumitir yang mengisi blog, dan saya yang kebagian
menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pembaca.
Terus terang awalnya, saya sedikit ragu apakah blog tersebut bisa
eksis. Sebab yang kami sajikan adalah karya-karya leluhur Jawa atau
berbagai wacana budaya Jawa yang terasa mulai luntur diminati oleh
masyarakat. Dalam proses perjalanannya, tidak jarang Mas Kumitir putus
asa karena saking sulitnya mendapatkan buku-buku untuk diketik ulang
dan disuguhkan di blog tersebut.
Namun, keluhan mas Kumitir biasanya saya tanggapi dengan dingin.
Sebab, saya tidak bisa berbuat banyak karena memang bukan kodrat saya
untuk browsing atau surfing, berkelana ke situs-situs luar negeri yang
kebetulan menyimpan karya-karya Jawa Kuno.
Apalagi saat itu, mas Kumitir belum begitu gigih untuk nyambangi
pasar-pasar buku bekas loakan dan menjalin relasi dengan kantung-kantung
budaya Jawa seperti sekarang sehingga kesulitan untuk mencari bahan
sajian praktis menghadang. Namun, sukurlah… waktu ternyata membuktikan
bahwa blog tersebut mampu untuk bertahan dan hingga kini usianya
tercatat sudah satu tahun lebih dengan pembaca mencapai 700 ribu orang
lebih. Data di statistik kunjungan pembaca, rata-rata perhari blog
sederhana tersebut dikunjungi sekitar 2.500 hingga 3.500 pengunjung.
Saya yang kemudian tidak terlibat lagi dengan blog alangalangkumitir
sangat berbahagia melihat kemajuan blog tersebut. Itu membuktikan bahwa
dedikasi dan konsistensi Mas Kumitir untuk merawat dan menjaga bayi
“alangalangkumitir” tidak diragukan lagi. Nah, kembali ke diskusi pagi
tadi.
Diskusi lebih tepatnya disebut “Cangkruk” (bahasa Suroboyoan yang
berarti duduk santai sambil menikmati makanan dan biasanya orang yang
nyangkruk itu juga ngopi dan merokok) itu berlangsung informal di sebuah
warung makan sekitar 25 meter dari kantor tersebut, ada “oleh-oleh”
yang saya bawa pulang malam ini.
Oleh-oleh itu ingin saya sampaikan saat ini yaitu tentang tiga hal
yang menjadi inti untuk memahami Serat Centini. Serat Centini
sebagaimana sudah banyak diketahui adalah babon atau induknya
kitab-kitab Jawa yang berisi banyak hal. Serat Centini yang sudah
dibukukan edisi lengkapnya ada sekitar 12 buku yang diterbitkan Yayasan
Centini. Tiga hal itu adalah BUDAYA, MITOS DAN SPIRITUAL.
Budaya adalah pernik-pernik manusia Jawa untuk memayu hayuning bawono
disesuaikan dengan kebiasaan dan adat istiadat masyarakat setempat.
Mitos adalah cerita/kisah-kisah yang dibikin untuk mempermudah seseorang
dalam memahami isi yang ingin disampaikan, sementara Spiritual adalah
substansi penghayatan hidup manusia berhadapan dengan Gustinya.
Setiap kebenaran yang disampaikan kepada umat/masyarakat luas juga
sesungguhnya harus memiliki tiga hal itu agar bisa diserap dengan baik
dan bijaksana. Tidak menimbulkan kebingungan dan kesulitan pemahaman
yang nantinya justeru menyesatkan.
Budaya, misalnya. Setiap ajaran apapun harus kontekstual dengan
lingkungan, adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
Ajaran yang disampaikan dengan tidak menghormati adat-istiadat
masyarakat berarti ajaran yang kurang bijaksana. Bukankah sifat
kebenaran adalah mampu untuk berasimilasi dan berosmosis dengan
kebenaran yang lain? Itu sebabnya, penyebaran agama Islam di Jawa oleh
wali sembilan dilaksanakan dengan sangat kreatif dan menyatu dengan
budaya masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa yang sebelumnya sudah memeluk Budha dan Hindu pun
akhirnya menerima dengan tangan terbuka kehadiran agama Islam. Tidak ada
pertentangan antar agama di Jawa hingga kini membuktikan bahwa budaya
Jawa yang mengutamakan olah rasa/batin adalah lahan yang sangat toleran
sebagai tempat bersemainya agama dan keyakinan luar manapun juga.
Sementara MITOS juga sangat penting untuk menyampaikan kebenaran.
Bila direnungkan, kenapa mitos tetap berkembang di masyarakat hingga
sekarang? Saya memiliki ilustrasi yang sederhana untuk menjawab hal ini.
Saat kita membaca buku teks yang penuh dengan teori-teori, misalnya
buku pelajaran Fisika, Matematika atau Kimia maka jidat kita langsung
berkerut. Aktivitas otak kiri kita begitu meninggi dan sangat serius
sehingga rasa lelah cepat datang. Daya konsentrasi tidak bertahan lama.
Hal ini berbeda misalnya bila buku teks teori-teori itu dikemas dalam
bentuk cerita yang enak dibaca dan mudah dipahami.
Otak kanan akan bereaksi karena ada sentuhan emosional atau rasa
sehingga karena dua belah hemisfer (otak) kiri dan kanan akan bekerja
seimbang sehingga teori-teori yang berat akan terasa ringan. Bila
pelajaran fisika, matematika, atau kimia yang eksak-obyektif terasa
berat disampaikan bila tanpa cerita-cerita apalagi bila yang disampaikan
itu adalah ajaran-ajaran hidup dan kebenaran yang abstrak dan tidak
eksak? Nah, disinilah mitos kemudian berperan.
Sepengetahuan kami, tidak ada satu pun ajaran agama yang tidak
memiliki muatan mitos dalam arti “cerita” atau “kisah” di dalam
ajarannya. Mitos bahkan terkadang lebih mendominasi aspek mental dari
agama. Padahal, ajaran agama sebenarnya dipenuhi hal-hal yang sangat
berat. Di situ ada ilmu hermeneutika/tafsir, ilmu kalam, ilmu
mantiq/logika, hukum/syariat/fiqih, aqidah, filsafat, ilmu bahasa dan
seterusnya.
Peradaban-perdaban dunia pun menciptakan mitosnya sendiri-sendiri.
Mulai peradaban kuno di Mesir, Persia, India, Yunani hingga peradaban
kita sekarang yang didominasi peradaban modern yang barat sentris
ketimbang timur sentris, mitos memegang peranan yang penting untuk
menyampaikan ajaran-ajaran spiritual.
Nah, ada kalanya mitos itu diciptakan begitu serius, namun ada
kalanya dibuat dengan lebih santai. Misalnya, mitos yang diciptakan
santai adalah mitos bahwa di setiap pohon yang ada mata airnya ditunggui
makhluk halus. Ini mitos untuk menyampaikan ajaran bahwa menghargai
lingkungan hidup mutlak diperlukan untuk kelestarian sumber air. Apalagi
fungsi pohon adalah tempat pelindung air agar bumi tidak terlalu panas
dan menguapkan air ke angkasa.
Para nenek moyang kita bukan orang bodoh. Kita lah yang terkadang
secara sekilas beranggapan bahwa mereka terbelakang, tidak mengenal ilmu
pengetahuan dan teknik modern. Apabila tuduhan belakangan ini
dialamatkan kepada mereka, jawaban pastinya adalah “Ya pasti begitu”..
Mereka tidak mengenal blog, facebook, internet, komputer dan
atribut-atribut teknis lain.
Namun, mereka lebih arif dan luas dalam memahami segala sesuatu. Itu
artinya mereka lebih cerdas dari kita yang secara apriori beranggapan
bahwa mitos adalah sesuatu yang tidak perlu dan bahkan secara frontal
menuduh sebagai musyrik, bidah, khurofat, takhayul terhadap sebuah
mitos.
Kenapa tuduhan ini terjadi? Baiklah kita akan merunut akar masalah
keyakinan kenapa mitos dipandang rendah dari sudut pandang perkembangan
ilmu pengetahuan. Kita ketahui bersama bahwa sejarah kelahiran ilmu
pengetahuan modern dimulai dari filsafat Yunani.
Para filsuf Yunani awal ini merenung bahwa akal manusia harus dipakai
untuk menemukan kebenaran. Para filsuf awal, seperti Thales,
Anaximenes, Anaximander, dan seterusnya… memulai perenungan filsafatnya
untuk mencari “arche” atau asas terdalam segala sesuatu. Akal
tiba-tiba sangat dihargai sebagai cahaya baru menemukan kebenaran. Bila
sebelumnya Yunani dipenuhi oleh mitos-mitos, maka kehadiran para filsuf
ini lebih menggunakan logos/akal.
Mitos versus logos yang akhirnya dimenangkan oleh logos. Mitos
kemudian dijauhkan dari wacana ilmu pengetahuan modern saat ini.
Termasuk yang menyingkirkan peran mitos adalah berkembangnya penafsiran
terhadap agama secara “modern.”
Padahal, akhirnya agama yang dipahami melulu dengan rasio atau akal
justeru memiskinkan hakekat agama itu sendiri. Agama tidak lebih
dipahami sebagai benda, yang bisa dianalisa, dipotret, dipotong-potong
oleh pisau bedah ilmu dan kemudian hanya diletakkan di
laboratorium-laboratorium universitas. Agama dalam pengertian seperti
ini tidak akan berkembang sebagai jalan dan petunjuk hidup manusia yang
bercahaya terang benderang yang menerangi eksistensi manusia. Agama
pun mengalami reduksi makna besar-besaran.
Manusia modern, seperti saya dan banyak orang lain kini mengaku punya
agama. Buktinya ada di Kartu Tanda Penduduk. Pengakuan ini apakah serta
merta menjadikan kita memeluk agama? Apakah memeluk agama hanya
dibuktikan dengan banyaknya kita menjalankan syariat atau hanya memakai
dan menyukai idiom-idiom budaya Arab saja? Sementara para koruptor dan
maling sistemik perbankan, politik yang penuh kepalsuan yang semakin
memelihara kebusukan, ketidakberdayaan, kemiskinan, ketidakadilan masih
kita yang mengaku punya agama ini membiarkan kejadian itu di depan mata?
Hmmm…. yang membuat kita semakin parah, bahwa kita yakin bahwa
manusia adalah mikrokosmos di tengah makrokosmos. Sehingga kita merasa
kecil di tengah alam semesta.
Pemahaman ini terbalik bung!
Harusnya, manusialah yang makrokosmos, si JAGAD GEDE di alam semesta
yang JAGAD CILIK. Manusialah yang memaknai dan memberi besaran dan
luasnya alam semesta ini. Sehingga manusia lebih besar secara makrifat
dari alam semesta. Jadi manusialah yang harusnya berkuasa, bukan alam
semesta…
Maka, perubahan sekecil apapun di hati kita hakikatnya adalah
perubahan besar karena perubahan itu terjadi pada kita si makromosmos/
jagad gede itu. Logika terbalik ini, bukankah ilmu makrifat Bima masuk
ke telinga Dewa Ruci? “Maka, bila kita tidak mampu melaksanakan
perubahan struktural dan fungsional perabadan kita ke arah yang lebih
baik dan justeru melanggengkan status quo, jangan mengaku sudah punya
agama…”
Ya, saya telah melupakan bahwa agama adalah proses perjalanan
laku atau perbuatan manusia yang sejatinya sudah dari sononya sudah
berhakikat makhluk spiritual. Dan inilah hasil diskusi kecil pagi hari
tadi dan saya akan menyimpannya di gudang data memori otak untuk jangka
waktu yang lama….
(Wongalus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar