Iman secara sederhana diartikan sebagai percaya adanya Allah
SWT, Malaikat-Nya, Rasul-Nya, Kitab Suci-Nya, Hari Akhir (kiamat) dan
takdir-Nya. Ada orang yang tidak beriman. Ada orang yang beriman. Ada
yang kadang-kadang beriman namun kadang-kadang tidak.
Mana yang lebih banyak apakah orang beriman atau tidak beriman, tidak
ada data statistik yang akurat. Kecuali mungkin para malaikat yang
setiap hari sibuk meraba-raba isi dada seseorang. Orang yang beriman dan
tidak beriman susah dikenali tanda-tanda dari luar. Tidak ada
tanda-tanda spesifik misalnya celananya harus pendek dibawah lutut
berbaju gamis, jenggot gondrong, atau dahi hitam yang menandakan
seseorang itu beriman atau tidak.
Iman ada dalam qalbu seseorang. Qalbu bukanlah hati atau jantung
biologis. Qalbu adalah hati metafisik yang mampu untuk merasakan sesuatu
getaran hati metafisik yang lain. Orang yang cinta dan sayang kepada
sesuatu hal yang bergerak adalah qalbunya, rasanya, hatinya, jiwanya.
Begitu juga dengan iman.
Iman adalah manifestasi spiritualitas seseorang yang berhubungan
dengan sesuatu yang transenden (transcendere: mengatasi dirinya),
adikodrati, dan mistik. Iman berhubungan dengan penghayatan diri
terhadap nilai-nilai absolut yang diyakini berada di dalam diri manusia
(immanere: berada di dalam) karena yang transenden mampu mendatangkan
sesuatu yang lebih berkuasa dari dirinya.
Iman lebih dari sekedar percaya akan adanya sesuatu. Iman selain
percaya, juga menuntut seseorang untuk ikhlas mengabdikan diri ke
sesuatu tersebut sekaligus juga menunaikan hak dan kewajiban-kewajiban
berdasarkan atas konsensus keimanannya. Keimanan saya kepada Tuhan
akhirnya membawa saya pada ketaatan pada kewajiban religius yang harus
ditunaikan atau juga kewajiban menghindari larangan.
Iman berasal dari cahaya petunjuk Allah yang menyinari qalbu manusia.
Cahaya petunjuk dalam bahasa agama disebut hidayah. Hidayah turun
karena kehendak-Nya. Petunjuk Allah sudah ada di dalam diri maupun di
luar diri manusia karena Allah memiliki sifat Ar Rahman (pemberi). Namun
tanpa hidayah yang merupakan hak prerogratif-Nya maka petunjuk itu
tidak mampu dibaca oleh manusia. Inilah buah dari sifat Ar Rahim
(Penyayang).
Kepada siapa dia menyayangi seseorang maka dia memberikan hidayah
berupa iman. Hidayah ini tidak diterima oleh sembarang orang. Hanya
orang-orang yang dipilih-Nya saja, yang diberi hidayah berupa iman.
Maka, logis bila seseorang yang beriman hendaknya bersyukur. Bersyukur
atas iman membawa konsekuensi bahwa seseorang itu harus menjaga serta
memupuk keimanannya dengan mengimplementasikan keimanannya itu untuk
kemanfaatan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain (terminologi agamanya: amal
sholeh).
Semoga kita semua mampu bersyukur atas iman yang bercahaya di dada
kita masing-masing dan bila belum mendapatkan hidayah iman, marilah
memohon kepada-Nya agar dia secepatnya memberikan kita hidayah iman yang
tidak ternilai harganya itu. ###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar