Awalnya ini adalah jawaban dari pertanyaan Sahabat Terkasih–
Ki Sabda Langit tentang HIJIB, yang ternyata mengantarkan perenungan
kepada hakikat doa. Atas kekurangbenaran artikel ini, saya mohon maaf
karena ini sekedar refleksi dari saya pribadi.
Salam
saya haturkan kepada Allah SWT, satu-satunya Tuhan di semesta alam,
junjungan Nabi Muhammad SAW kekasih-Nya dan keluarga, para Nabi dan
Rasul, wali-wali-Nya, umat Islam, umat Kristen, umat Protestan, umat
Hindu, umat Budha, umat Kong Hu Chu, macam-macam penganut alirat
kepercayaan, ulama, intelektual, kaum sufi, kaum terpinggirkan dan
tersisihkan, kaum miskin papa, serta kaum yang tidak saya ketahui dimana
pun kini berada. Serta seluruh makhluk penghuni jagad raya….
Ki Sabda, ngapunten sebelumnya. Rasa-rasanya saya kok tidak pantas
untuk memberikan penjelasan karena masa sih saya menjelaskan kepada yang
lebih tahu? Apakah nanti tidak kuwalat, ki? Tapi sebagai wujud asah
asih asuh maka mungkin ada baiknya juga kita sharring pengetahuan.
Ki Sabda bertanya tentang beda antara HIJAB dan HIJIB. Dalam kamus perbendaharaan agama, HIJAB artinya
tabir, selubung, dinding yang dalam istilah para sufi lebih mengarah
pada sesuatu yang bersifat ruhaniah, sifat-sifat kotor manusia, nafsu
(berbagai jenis), keterbelakangan akal, ketersesatan akal, keterbenaran
akal yang belum sujud dll.
Adapun HIJIB, Hizb, Hizib artinya DOA atau kumpulan doa
dari para alim-ulama, syaikh yang diyakini oleh kalangan tertentu
memiliki energi yang hebat untuk mengetuk pintu langit. Membuka kunci
gudang kegaiban karena kelembutan dan tuning yang pas dengan
kehendak-Nya. Di masyarakat Islam khususnya, kita mengenal banyak
hijib. Hijib yang terkenal di antaranya Hizbun Rifa’i oleh Syaikh Ahmad
Rifai, Hizbun Nasor oleh Syaikh Abi Hasan Asy Syadili, Hizbun Nawawi
oleh Imam Nawawi, dan sebagainya.
Saya sejatinya termasuk orang yang belum begitu paham, kenapa ada
doa-doa yang diijabahi/di-ACC oleh Tuhan dan kenapa pula ada doa yang
belum/tidak di-ACC. Tapi dengan prasangka yang baik bahwa diijabahinya
doa atau tidak, Tuhan sesungguhnya lebih tahu kepantasan apakah satu doa
itu harus diterima atau tidak.
Pada kesempatan kali ini ada baiknya kita menganalisis secara
filsafati soal doa sehingga akhirnya kita semua memahami hakikatnya.
Meskipun kita tetap tidak percuma untuk berdoa meskipun belum mengetahui
hakikat doa, tapi saya rasa akan lebih sreg bila kita yang
alhamdulillah dikaruniai akal budi ini untuk memikirkannya, sesuatu yang
kita ucapkan dalam ibadah sehari-hari. Bukankah kunci ibadah adalah
doa? Bukankah dari dari doa tercermin siapa diri kita sesungguhnya?
Bukankah dari doa tercermin perilaku dan tata cara kita mengolah
kedirian?
Mereka yang tidak mengenal hakikat doa mungkin berpendapat bahwa doa
merupakan faktor yang melumpuhkan manusia: “Bukan saatnya lagi hanya
menengadahkan tangan untuk meminta sesuatu kepada Tuhan, sudah
seharusnya kita melakukan usaha, memanfaatkan sains dan teknologi, serta
mengisi kesuksesan yang dicapai justeru dengan doa bukankah membuat
orang malas berusaha?”
Ada yang berpendapat sbb: “Pada prinsipnya, apakah berdoa bukan
berarti ikut campur dalam pekerjaan-pekerjaan Allah? Padahal kita
mengetahui bahwa apapun yang menurut Allah baik untuk dilakukan, maka
Dia pasti akan melakukannya. Dia mempunyai rasa kasih sayang kepada
kita. Dia lebih mengetahui kebaikan untuk diri kita dibanding diri kita
sendiri. Oleh karena itu, mengapa kita harus menginginkan sesuatu
dari-Nya setiap saat?”
Di saat lain ada yang berpendapat: “Selain dari semua yang telah
tersebut di atas, bukankah doa justru bertentangan dengan keridhaan dan
penyerahan diri pada kehendak Allah?”
Kritikan dan sanggahan semacam ini sebenarnya belum memahami
kenyataan psikologis, sosial, budaya, pendidikan, dan aspek spiritual
doa dan ibadah. Karena pada dasarnya, untuk meningkatkan kemauan dan
menghilangkan segala kegelisahan, manusia membutuhkan kehadiran sesuatu
yang bisa dijadikan media untuk menyandarkan dan menggantungkan
kepercayaannya. Dan doa adalah pelita harapan di dalam diri yang
diliputi kegelapan.
Masyarakat yang melupakan doa dan ibadah, pastilah akan berhadapan
dengan reaksi yang tidak sesuai dengan psikologi sosial. Ketidaaan
ibadah dan doa di tengah-tengah suatu bangsa sama artinya dengan
kehancuran dan keruntuhan bangsa tersebut. Sebuah masyarakat yang telah
membunuh rasa butuh kepada doa dan ibadah biasanya tidak akan pernah
terlepas dari keruntuhan dan kemaksiatan.
Tentu saja, jangan kita lupakan bahwa beribadah tidak hanya di saat
saat tertentu saja dan menjalani waktu yang ada seperti seekor binatang
liar yang membunuh sana-sini tidak ada manfaatnya sedikitpun. Ibadah dan
doa harus dilakukan secara terus-menerus, berkesinambungan, pada setiap
kondisi, dan melakukannya dengan penuh khidmat sehingga manusia tidak
akan kehilangan pengaruh kuat dari doa ini.
Mereka yang setuju dengan dampak negatif yang ditimbulkan oleh doa,
tidak memahami hakikatnya. Karena doa bukanlah berarti kita
menyingkirkan dan melepaskan tangan dari segala media eksternal dan
faktor-faktor alami, lalu menggantikannya dengan berdoa.
Maksud dari doa adalah setelah melakukan segala usaha dalam
mengunakan seluruh fasilitas kemanusiaan yang ada, barulah kita berdoa
untuk menghidupkan semangat harapan dan gerak dalam diri kita dengan
memberikan perhatian dan menyandarkan diri kepada Allah SWT, Sebab Utama
Bergeraknya Jagad Raya ini.
Namun sesungguhnya doa tidak hanya dikhususkan pada
persoalan-persoalan yang menemui jalan buntu, bukan sebagai sebuah
faktor yang menggantikan faktor-faktor natural. Selain akan memberikan
ketenangan, doa juga akan menghidupkan gairah batin dalam aktifitas otak
manusia, dan terkadang pula akan menggerakkan hakikat manusia sebagai
makhluk yang paling mulia.
Dalam kenyataannya, doa akan menampakkan karakternya dengan
indikasi-indikasi yang sangat khas dan terbatas dalam diri setiap
manusia. Doa akan menampakkan kejernihan pandangan, keteguhan perbuatan,
kelapangan dan kebahagiaan batin, wajah yang penuh keyakinan, dan
potensi hidayah. Doa oleh karenanya menceritakan tentang bagaimana
menyambut sebuah peristiwa. Ini semua merupakan wujud sebuah hazanah
harta karun yang tersembunyi di kedalaman ruh kita. Dan di bawah
kekuatan ini, harta orang-orang yang mempunyai keterbelakangan mental
dan minim bakat sekalipun, akan mampu menggunakan kekuatan akal dan
moralnya dan mengambil manfaat yang lebih banyak darinya. Ironisnya, di
dunia kita ini sangatlah sedikit orang-orang yang mau untuk mengenali
secara mendalam hakikat doa.
Jelaslah sekarang bahwa doa sesungguhnya sejalan dengan ridha
(kerelaan) diri kita untuk mengakui keterbatasan, mensyukuri yang sudah
ada serta mengarahkan kepasrahan kepada kehendak Tuhan. Dengan perantara
doa pula manusia akan menemukan perhatian yang lebih banyak untuk
memahami berkah Allah swt. Ini jelas merupakan usaha untuk mencapai
kesempurnaan manusia dan sebagai bentuk penyerahan diri pada hukum-hukum
penciptaan. Selain itu semua, doa merupakan ibadah, kerendahan hati,
dan penghambaan. Dengan perantara doa, manusia akan menemukan cara baru
berkomunikasi terhadap Dzat Allah.
Dan apabila dipertanyakan, “Doa berarti campur tangan di dalam
pekerjaan Allah. Padahal, Allah akan melakukan apapun yang menurut-Nya
bermaslahat”, mereka tidak memperhatikan bahwa karunia Ilahi akan
berikan berdasarkan kelayakan yang dimiliki oleh setiap orang. Semakin
besar kelayakan seseorang, maka ia akan mendapatkan karunia Allah secara
lebih banyak pula. Sebagaimana Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu
hadis berkata, “Di sisi Allah SWT terdapat sebuah kedudukan di mana
seseorang tidak akan sampai ke sana tanpa melakukan doa.”
Sebagai penutup, doa, shalat, dan iman yang kuat terhadap agama akan
menghilangkan kegelisahan, ketegangan, dan ketakutan-ketakutan yang
merupakan penyebab dari separuh kegundahan manusia dalam peradaban
modern yang semakin menjauhkannya dari jati dirinya sendiri sebagai
makhluk yang memiliki hati nurani yang mampu menerobos tembus (tadabbur)
ke arasy Tuhan.
Salam asah, asih dan asuh dan mohon koreksi dari Pembaca Terkasih.
Wong alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar