Hidup di dunia ini hanya sementara. Ungkapan ini terlalu
sering kita baca dan kita dengar pada berbagai kesempatan. Biasanya kita
pun tanpa berpikir secara jauh segera mengiyakan dan menyetujuinya.
Meskipun hanya di dalam hati. Kita jarang bertanya, benarkah hidup ini
hanya sementara?
Kata sementara berarti sesaat saja. Sekejap mata, sak kedipan netro.
Begitu orang Jawa biasa menyebutkan sifat hidup yang tidak abadi ini.
Konon, hidup di dunia laksana seorang musafir yang berjalan jauh menuju
sebuah tujuan tertentu. Dia harus memiliki bekal agar tidak kelaparan
dan kehausan. Bekal pun ditata, direncanakan sebaik-baiknya. Bekal itu
biasanya kemudian dimiskinkan maknanya. Yaitu bekal materi saja.
Yang terjadi kemudian, agar kita sukses dalam mengarungi bahtera
hidup maka kita perlu menumpuk materi sebanyak-banyaknya. Agar kita
tidak mengalami kesengsaraan, kemiskinan, kenistaan. Sejak usia
kanak-kanak hingga dewasa, kita terus-menerus dijejali dengan pemahaman
semacam ini. Beruntung, kita bertemu dengan banyak orang, tetangga,
teman yang memiliki pemahaman yang sama.
Hanya sesekali kita menyadari bahwa bekal hidup yang sejati
sebenarnya tidak hanya harta benda. Yaitu ketika kita masuk ke tempat
ibadah, di gereja, di masjid, di pura, di kelenteng. Atau saat kita
menonton acara mimbar agama di televisi.
Para ulama, pendeta, biksu, dan pemuka agama saat di mimbar akan
menyerukan seruan agar kita mempersiapkan bekal hidup yang tidak hanya
harta benda kekayaan, pangkat dan jabatan, karier dan pendidikan saja.
Tetapi harus dilengkapi dengan ibadah-ibadah yang sudah dituntunkan oleh
agama. Kita tidak diperkenankan keluar jalur agama karena nanti bisa
tersesat ke jalan yang tidak berpeta. Bukankah bila kita memasuki daerah
tanpa peta (kini GPS), kita akan mengalami kebingungan dan akhirnya
tersesat?
Selain saat khusus itu, kita terlalu banyak meluangkan waktu untuk
menikmati hidup dengan berbagai sarana kebahagiaan yang menunjang kita
untuk berperilaku serba cepat, instan dan mencari kemudahan-kemudahan.
Hingga pada suatu ketika, kita disadarkan adanya kepastian yang paling
tidak membahagiakan.
Satu persatu, orang-orang yang kita cintai pergi meninggalkan kita.
Mulai dari buyut, kakek, nenek, ayah dan ibu. Kita juga mendapati ada
satu dua tetangga yang meninggal. Bahkan akhirnya, kita melihat ada
bencana alam dengan korban nyawa mencapai ribuan. Ya, kita akhirnya
sepakat 100 persen bahwa kematian merupakan kepastian. Tak seorang pun
dapat menghindar dan melepaskan diri dari cengkeramannya.
“Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka
sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata.”
Kita pun akhirnya menyimpulkan bahwa hidup ini hanya sementara saja
sehingga harus diisi dengan banyak melakukan ibadah kepada Tuhan.
Benarkah hidup ini hanya sementara? Untuk menjawab ini marilah kita
jalani penalaran sederhana dulu.
Manusia ini terdiri dari sesuatu yang lahir atau terlihat yaitu
berupa (1) badan biologis/jasad/fisik namun juga sesuatu yang sifatnya
tidak terlihat atau batiniah yaitu berupa (1) rasa, hati nurani, nafs,
jiwa dan juga (2) ruh. Nah dari tiga hal yang dimiliki oleh substansi
manusia ini, manakah yang hidupnya bersifat sementara dan mana yang
tidak?
Ukuran hidup dan matinya badan biologis/jasad/ teramat jelas. Yaitu
apabila nadi sudah tidak bergerak, gelombang otak sudah tidak terdeteksi
dengan EEG, dan bila disapa sudah tidak mampu menjawab. Sehingga kita
bisa langsung menyimpulkan bahwa tubuh si D harus secepatnya dimakamkan
karena secara medis oleh dokter sudah dinyatakan meninggal.
KESIMPULANNYA: BADAN BIOLOGIS HIDUPNYA HANYA SEMENTARA.
Yang kedua ini agak lebih sulit lagi. Apa ukuran hidup dan matinya
jiwa, rasa, hati nurani? Kita akan mendapatkan jawaban yang kurang masuk
akal bila matinya hati nurani ditandai dengan melemahnya fisik,
tubuhnya yang kurus, rumahnya yang reyot. Kaum koruptor, politikus
busuk, para maling kelas atas atau teroris umumnya berbadan sehat, tidak
ada cacat akal, penalarannya logis.
Namun mereka dikatakan mengalami kematian rasa dan jiwa. Lantas apa
ukurannya? Hingga sekarang, tidak ada satupun alat hasil temuan ilmu
pengetahuan yang mampu benar-benar mendeteksi secara pasti kematian
rasa, batin, jiwa ini. Ilmu psikologi biasanya hanya untuk mengukur
kesehatan jiwa saja. Bukan hidup dan matinya jiwa. Bila kita sepakat
(sebagaimana yang dipaparkan oleh para psikolog bahwa eksistensi jiwa
melekat dalam tubuh) maka kita bisa menyimpulkan bahwa: JIWA HIDUPNYA
HANYA SEMENTARA.
Yang ketiga inilah yang paling sulit. Yaitu soal ruh. Kita percaya
bahwa ruh itu ada. Ada di mana? Apakah ruh itu melekat di tubuh
sebagaimana jiwa/rasa/batin kita? Ataukah adanya di dalam tubuh kita dan
sesekali pada kesempatan tertentu ruh bisa terbang ke mana-mana sesuai
dengan yang dikehendaki? Pelu dipahami bahwa tidaklah tepat kita
memetakan ruh ini dalam konteks bereksistensi di dalam ruang dan waktu.
Kitab suci juga memberikan arahan bahwa “Ruh adalah urusan tuhan dan
kita hanya diberitahu sedikit.
” Nah, kata “sedikit” ini pasti tidak berarti “dilarang”. Sehingga
kita pun tetap diperbolehkan untuk membicarakan dan membeberkannya di
khalayak publik. Tentu saja publik yang memiliki kepekaan untuk meraba
kebenaran. Bukan publik yang emosional, dogmatis dan menganggap bahwa
keyakinan adalah sesuatu yang sudah baku dan tidak boleh dikritisi.
Publik yang seperti ini malah jauh dari kebenaran yang merupakan jalan
Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia.
Siapa menyuruh kita menjadi dogmatis? Tuhan saja bilang pada kita: La
ikraha fiddin… Tiada paksaan dalam agama. Memaksakan keyakinan agama
dengan paksaan berarti tidak toleran kepada kepercayaan yang lain. Ini
justeru sangat dikutuk Tuhan.
Kembali ke ruh. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang ruh ini, kita
mendapatkannya melalui cara yang berbeda yang biasa ditempuh apabila
kita ingin menggali sebuah fenomena alam. Kenapa? Sebab ruh ini adalah
substansi yang berdiri sendiri dan ada di dalam dirinya sendiri.
Substansi adalah hakikat sesuatu dan hakikat jelas dilekati oleh
berbagai aksidensi khusus. Musalnya berada di dalam ruang dan waktu,
jenis, sifat, jumlah, kualitas dan sebagainya.
Sementara ruh-nya sendiri adalah sesuatu yang abstrak yang bisa
ditangkap dengan kesadaran yang paling jelas dan nyata. Bila memahami
fenomena alam kita menggunakan akal dan penalaran menggunakan metode
ilmiah, maka mengenal eksistensi ruh ini kita menggunakan akal khusus
yaitu akal budi.
Apa itu akal budi? Akal budi adalah daya pencipta
pengertian-pengertian murni yang tidak diberikan oleh pengalaman. Akal
budi tidak memiliki nilai konstitutif bagi daya pengenalan manusia.
Artinya tidak ikut menyusun pengenalan manusia, dan tidak memberi
gagasan tentang kenyataan-kenyataan yang ada dan tidak berada sebagai
benda. Akal budi oleh karena itu merupakan sumber hidup manusia yang
sesungguhnya. Sebab manusia pada dasarnya sudah diinstal secara lengkap
untuk mengenali jati dirinya yang paling sejati.
Setidaknya, manusia sudah diinstal tiga software pokok. Software
pertama pengetahuan tentang ruh, software kedua pengetahuan tentang
dunia hakikat dan software ketiga pengetahuan tentang Tuhan. Ketiga
software ini tidak perlu pembuktian teoritis karena sudah merupakan
postulat dasar yang apabila dibuktikan justeru akan mengalami sesat
pikir. Bila tidak perlu dibuktikan keberadaannya, maka idealnya manusia
perlu mengalami ruh itu sebagai entitas yang tersendiri dan obyektif.
Sehingga manusia tetap yakin bahwa ruh benar-benar ada dan tidak hanya
sebatas wacana. Toh, tidak haram untuk merasakan adanya ruh.
Pengalaman manusia yang paling memungkinkan untuk menggali kekayaan
ruh adalah MENGALAMI PERJALANAN HIDUP DI DALAM RUANG DAN WAKTU, dan
kemudian mengalami kejadian-kejadian khusus sehingga dia yakin.
Pernahkah Anda mendengar ada orang mati kemudian hidup kembali? Atau
orang-orang yang koma? Apa yang diceriterakan oleh mereka yang sudah
mengalami NEAR DEATH EXPERIENCE ini akan memberikan banyak pengetahuan
tentang ruh.
Ada seorang teman saya, inisial NZ menceritakan saat-saat genting
ketika dia mengalami kecelakaan parah saat sepeda motor yang
ditumpanginya disenggol truk tronton. NZ terjatuh, kepalanya terbentur
ban tronton yang berputar cepat. Kepala NZ nyaris terlindas dan akhirnya
sepeda motornya yang menjadi korban. Hancur tidak berbentuk. Dia koma
beberapa minggu sebelum akhirnya sadar sekitar satu bulan setelah
kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya.
“Saat saya jatuh dari motor, saya sadar. Bahkan ketika roda tronton
itu mengenai kepala saya. Saya tidak merasakan sakit. Setelah itu, saya
tahu saat itu saya pingsan dan dibawa ke rumah sakit dan disana saya
menunggu tubuh saya yang tidak bergerak lagi. Saya tahu para sohib yang
datang menjenguk. Ada yang nangis. Saya tahu mereka tapi saya tidak tahu
harus berbuat apa… Saya cuma menunggu saja…”
Kisah ini lain dialami tetangga desa yang memiliki pengalaman luar
biasa. Sebut saja Pak S. Dia sudah dinyatakan meninggal dunia karena
berusia lanjut. Orang desa pun memakamkannya. Beberapa hari kemudian,
kuburannya terbuka dan dia bangun dari kematiannya. Gemparlah desa
tersebut. Si mayat yang hidup kembali itu konon sudah dialaminya yang
keempat kali. Yaitu mengalami kejadian yang sama: hidup lagi setelah
dianggap meninggal dunia. Nah, dia akhirnya benar-benar mengalami
kematian dan tidak hidup lagi setelah kematiannya yang kelima.
Saya tidak sempat mewawancarainya dan yang sempat mewawancarainya
adalah teman karib saya. Pak S menceriterakan dia saat dinyatakan
meninggal dan dikubur tersebut, dia mengetahui kejadian itu namun tidak
bisa berbuat apa-apa. Tubuh fisik dan akalnya sudah tidak berdaya. Tapi
dia tahu kejadian-kejadian yang menimpanya.
Banyaknya kejadian orang yang mengalami NEAR DEATH EXPERIENCE atau
pengalaman saat mengalami kematian sementara ini membuktikan satu
keyakinan: bahwa ada “sesuatu” yang hidup, buktinya mereka mengetahui
proses saat akan mengalami kematian hingga proses lanjutan saat dia
pingsan. “Sesuatu” yang menyadari, mengetahui, dan bisa menceriterakan
kembali kejadian-kejadian runtut itulah akhirnya bisa disimpulkan bahwa
ada satu entitas metafisis dalam diri manusia. Entitas itu kemudian
disebut dengan RUH.
Terserah, apa sebutan lain bagi RUH ini. Yang jelas ruh ini tidak
akan tersentuh kematian, ruh juga tidak tersentuh rasa sakit fisik. Ruh
tidak mengalami saat-saat kejadian dalam ruang dan waktu tertentu.
Dengan demikian RUH BERSIFAT ABADI. RUH SELALU DALAM KEADAAN HIDUP
SAMPAI KAPANPUN DAN DIMANAPUN. RUH SELALU SADAR DAN TIDAK MENGENAL
TIDUR. RUH ADALAH TUHAN DALAM DIRI MANUSIA.
Makanya, tidak salah bila dalam kitab suci dikatakan untuk mengenal
Tuhan maka kita tidak perlu jauh-jauh mencari ke negeri Arab, tidak
perlu jauh-jauh ke Betlehem, tidak perlu jauh-jauh ke India namun kita
hanya diminta mengenal diri sendiri. Mengenali apa yang sesungguhnya
paling sejati di dalam diri manusia. “Kenalilah dirimu sendiri, maka
kau akan mengenal Tuhanmu.”
Ya, di dalam diri manusia ada “kitab teles”, ada “kitab basah” yaitu
“kitab yang benar-benar kitab” yaitu menunjuk langsung pada KENYATAAN,
bahwa Dzat Tuhan ada di dalam diri manusia. Tidak ada dualitas karena
sesungguhnya RUH MANUSIA DAN DZAT TUHAN TIDAK BERBEDA. KEDUANYA
SESUNGGUHNYA SATU KESATUAN.
Terakhir, bila kita sudah beranjak untuk memahami hakikat
keberadaan segala sesuatu bahwa hanya ada satu Dzat Tuhan saja, maka
kita perlu waspada dengan segala klaim pengetahuan akal yang sudah kita
miliki tentang Tuhan. Sebab: “Sejatine kabeh kui ora ono. Sing Ono Kui
Dudu…”
wongalus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar