Ada satu satunya cara hidup bila ingin menikmati hidup:
SHALAT KHUSYUK. Shalat adalah bentuk KOMUNIKASI DENGAN SANG MAHA
TERKASIH ALLAH, PENCERAHAN, REKREASI JIWA yang tidak bisa ditandingi
kenikmatannya dengan CARA apapun di alam semesta. Masalahnya, kemana
pikiran harus kita arahkan saat kita melakukan ibadah shalat? Bila kita
yakin bahwa shalat adalah meditasi tertinggi (meditasi transendental),
maka seyogyanya kita pahami bagaimana menciptakan titik pikiran secara
tepat sehingga shalat kita dikatakan khusyuk dan benar.
Agama
Islam memiliki satu ritual wajib yang dilakukan lima kali sehari, yaitu
SHALAT. Dalam sehari, ada lima WAKTU SHALAT yaitu saat subuh, dhuhur,
ashar, maghrib dan Isya. Shalat juga merupakan RUKUN ISLAM artinya
sesuatu yang wajib dilakukan bila manusia sudah memeluk agama ini. Rukun
Islam ada lima: SYAHADAT, SHALAT, ZAKAT, PUASA dan BERHAJI.
Ada juga shalat yang sifatnya tidak wajib, yaitu Shalat Sunnah. Ada
banyak ragam shalat Sunnah yang ada dalam Islam. Namun karena sifatnya
Sunnah, maka shalat ini bersifat melengkapi shalat-shalat wajib.
Meskipun bersifat melengkapi, shalat sunnah bila dilakukan secara
khusyuk disertai dengan niat hanya mengharapkan keridhaan Allah, maka
nilainya sungguh luhur. Saking hebatnya ibadah shalat, sehingga
dikatakan bahwa SHALAT ADALAH SOKO GURU DAN PONDASI AGAMA.
Yang perlu diperhatikan, kesempurnaan ibadah shalat memiliki dimensi
individual dan sosial. Dimensi individual adalah bagaimana shalat itu
dijadikan sarana untuk BERKOMUNIKASI dengan Tuhan. Sementara dimensi
sosial shalat adalah bagaimana shalat membawa dampak positif bagi
lingkungan sosial masyarakat dimana individu yang melakukan shalat itu
berada.
Pada dasarnya, hakikat shalat adalah mengajak manusia untuk MENYADARI
KEBERADAAN TUHAN ITU DEKAT yang melampaui batasan ruang dan waktu
sehingga kemanapun manusia berada maka DIA SELALU HADIR, MENGAWASI,
MENJADI TEMAN PALING SETIA, DAN MENJADI KEKASIH YANG TIDAK PERNAH ABSEN
SEDIKIT PUN UNTUK BERBAGI SUKA DAN DUKA sekaligus sebagai wujud
KETUNDUKAN MANUSIA pada DZAT YANG SERBA MAHA DAN INFINITUM INI.
Kesadaran HAKIKAT SHALAT ini akan memiliki pengaruh kuat dalam
mencegah manusia dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar.
Sebagaimana dijelaskan dalam Ayat 45 surat Al-‘Ankabut “Sesungguhnya
shalat itu mencegah [manusia] dari perbuatan yang keji dan mungkar.” Ini
sudah masuk dimensi sosial shalat.
Seseorang yang berdiri untuk melakukan shalat dan mengucapkan TAKBIR,
mengakui bahwa Allah swt.; Dzat yang MAHA LEBIH dari segala yang ada
dan kita mengingat semua kenikmatan yang telah diberikan-Nya. Dengan
mengucapkan syukur, ia memohon curahan kasih dan sayang-Nya, mengingat
hari pembalasan, mengakui ketundukan, melakukan penyembahan kepada-Nya,
memohon pertolongan-Nya, meminta petunjuk untuk mendapatkan jalan yang
lurus, dan memohon perlindungan sehingga tidak termasuk ke dalam
golongan orang-orang yang telah dimurkai oleh-Nya serta tidak termasuk
ke dalam golongan orang-orang yang tersesat.
Di dalam meditasi transendental shalat, pemusatan pikiran saat kita
mengucapkan AL FATIHAH ini adalah MENGOSONGKAN GAMBARAN PIKIRAN APAPUN
JUGA KECUALI GAMBARAN PIKIRAN YANG TIDAK DIBUAT OLEH KITA, MELAINKAN
BIARKAN KITA MENERIMA GAMBARAN YANG DIBERIKAN OLEH TUHAN.
Kita pasrah, kita tidak lagi berusaha untuk fokus: semua penggambaran
wujud Tuhan itu hanya dalam BAHASA, sedangkan saat shalat kita biarkan
diri ini mengalir pasrah sehingga hidayah-NYA turun. Hidayah-Nya dalam
Shalat ini berupa gambaran yang sangat tentang WUJUD-NYA, selain itu
naik pada tingkatan bayangan dan gambaran yang paling dan sulit didapat
dalam kehidupan rutin yang terbatas. Oleh karena itu pengalaman dalam
psikologi shalat ini disebut meditasi transendental yang susah untuk
ditulis.
Awal kesadaran tertinggi tentang shalat sejatinya harus diikuti
dengan tafakkur/berpikir tentang obyek-obyek kongkret sebelum akhirnya
menuju ke obyek yang abstrak. PENGOSONGAN PIKIRAN DAN MELUPAKAN SEGALA
KERUWETAN DALAM BENAK YANG DAPAT MENGGANGGU KEKHUSYUKAN SHALAT DAN
KONSENTRASI PADA TUJUAN SHALAT: BAHWA KITA SEDANG BERHADAPAN DAN
KOMUNIKASI DENGAN ALLAH.
Sebagaimana semua aktifitas lainnya, shalat juga butuh latihan.
Khusyuk memang sulit namun bila berulang-ulang dilatih akhirnya juga
akan mampu untuk PASRAH, TIDAK BERPIKIR TENTANG OBYEK SHALAT NAMUN
MEMBIARKAN DIRI IKLHAS UNTUK HANYUT DALAM SHALAT.
Dalam taraf belajar shalat, bila pikiran kemudian melayang ke
mana-mana maka seorang harus kembali mengonsentrasikan pikiran pada
“apa” yang ia pilih sebagai objek pikiran dalam SHALAT. Ia harus
mengambil posisi badan yang rileks, otot-otot tidak kaku. Latihan ini
harus selalu diulang-ulang, sehingga tahap demi tahap berfikirnya
menjadi lebih dalam, badan terasa lebih ringan, pikiran menjadi bersih,
jiwa menjadi terbang ke langit yang keluasannya TIADA BERHINGGA.
Bersamaan dengan itu, hilang pula segala perasaan gelisah, sedih, galau,
dan segala gangguan jasmani yang dirasakan sebelumnya.
Seorang mukmin akan mudah memahami psikologi shalat yang demikian
karena memiliki kesamaan yang jelas dengan proses tafakkur tentang
penciptaan langit dan bumi yang disertai dzikir dan bertasbih kepada
objek yang MAHA TAK TERJANGKAU yaitu Allah, baik berdiri, duduk rileks,
berbaring. Tujuannya adalah upaya melepaskan atau menjauhkan dari
pengaruh yang menggangu konsentrasi, keruwetan angan-angan pikiran,
perasaan, ataupun kebisingan dan keramaian.
Sebagaimana seseorang yang bertafakkur bertasbih, dan bermeditasi
akan dapat menangkap makna dan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak
terlintas dalam hati. Keduanya mengunakan kedalaman tafakkur untuk
membersihkan pengetahuan lahiriah dari belenggu penjara rutinitas
kehidupan material menuju kebebasan menatap lepas ke atas, menuju
pengetahuan yang luas tak terbatas.
Bila shalat kita sudah khusyuk diri kita akan mampu keluar badan
kecil ini. Jiwa kita menjadi tidak terikat dalam wujud jasmani,
mempunyai keluasan wujud dan kemampuan “melihat tanpa bola mata”,
“mendengar tanpa daun telinga” dan merasakan keuniversalam jiwa yang tak
terbatas oleh waktu dan ruang. “Inilah jiwa” yang memiliki “watak” yang
sama dengan jiwa-jiwa lainnya; dimana hal yang membedakan adalah
“kemana akhir kembalinya sang jiwa”
Dalam shalat, ada tahap yang disebut RUKU’ yaitu dengan membungkukkan
badan, laksana seorang hamba dan meletakkan dahi di atas permukaan
tanah di haribaan suci-Nya untuk MENGAKUI KEBESARAN DAN KEMULIAAN-NYA
DAN TENGGELAM DALAM KEAGUNGAN-NYA, SERTA MENGHAPUS SEGALA EGO DAN
KESOMBONGAN yang ada pada dirinya.
Lalu ia pun akan mengucapkan syahadat untuk memberikan kesaksian atas
keesaan-Nya dan risalah Rasul-Nya. Setelah itu, ia mengirimkan shalawat
kepada utusan-Nya yang mulia, Rasulallah saw. dan menengadahkan kedua
tangannya di bawah mihrab sucinya-Nya untuk memohon belas kasih supaya
dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang salih. Semua faktor
ini adalah sebuah rekreasi spiritual yang tidak ada bandingannya,
terbakarnya semangat spiritual, sebuah gelombang besar yang mampu
melebur ke DZAT TUHAN.
Di dalam salah satu hadis dikisahkan bahwa pada masa Rasulullah saw.,
terdapat seorang pria muda dari kaum Anshar yang senantiasa mengikuti
shalat yang dilakukan oleh Rasul saw. Tetapi, pada sisi lain ia masih
senantiasa bergelimang dalam berbagai maksiat. Lalu, hal ini disampaikan
kepada Rasul saw. Mendengar laporan ini beliau bersabda, “Suatu hari
nanti shalatnya dapat mencegahnya dari perbuatan-perbuatannya tersebut.”
Sedemikian pentingnya pengaruh shalat, hingga pada sebagian riwayat
Islam disebutkan bahwa bias yang akan muncul dari pelaksanaan shalat
akan menjadi tolok ukur apakah shalat yang dilakukan oleh seseorang
telah diterima di sisi-Nya ataukah belum.
Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu hadis berkata, “Seseorang yang
ingin melihat apakah shalatnya telah diterima oleh Allah swt atau belum,
hendaklah ia melihat apakah shalat yang telah dilakukannya ini dapat
mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar atau tidak? Sejauh mana
ia telah tercegah dari hal-hal tersebut, sekadar itu pulalah shalat
yang dilakukannya telah dikabulkan di sisi-Nya”.
Bahkan, dapat diakui bahwa unsur utama dari pencegah perbuatan keji
dan mungkar adalah mengingat/DZIKIR Allah). Pada prinsipnya, MENGINGAT
ALLAH SWT. MERUPAKAN INTI DETAK KEHIDUPAN KALBU MANUSIA DAN PUNCAK
KETENANGAN HATI. TIDAK ADA SESUATU PUN SELAINNYA YANG BISA MENCAPAI
TINGKATAN SEMACAM INI.
Pembahasan tentang SHOLAT oleh karenanya bisa dirangkum sebagai berikut:
1. Sholat adalah ibadah terpenting dalam agama Islam setelah syahadat.
2. Hakikat dan filsafat shalat adalah mengingat Allah SWT.
3. Shalat merupakan media mengoreksi diri, memperbaiki diri, dan bertaubat.
4. Shalat merupakan media penghibur luka, barutan, dan goresan dosa di
dalam ruh dan jiwa manusia akan sembuh karena kemanjuran obat yang
berbentuk shalat.
5. Shalat merupakan tanggul penghalang berbuat keji dan jahat
6. Shalat menguatkan iman di dalam kalbu manusia dan menumbuhkan tunas-tunas ketakwaan baru di dalam hati.
7. Shalat akan menghancurkan kelalaian terhadap tujuan penciptaan dan
tenggelam dalam kehidupan materi serta kelezatan-kelazatan duniawi yang
hanya sekejap.
8. Dengan shalat, kehadiran-Nya terasa dekat.
9. Shalat menghilangkan kesombongan EGO dan merendahkan diri di hadapan-Nya.
10. Shalat itu penyempurnaan akhlak
11. Shalat menghidupkan hakikat keikhlasan dalam beramal
12. Shalat membawa kesucian hidup
13. Shalat itu Penguat Semangat Disiplin
Meskipun tanpa memperhatikan kandungan yang ada di dalam shalat pada
hakikatnya ia mengajak manusia untuk hidup dalam kesucian. Hal ini dapat
kita ketahui dari syarat tempat yang dipergunakan untuk melakukannya,
pakaian yang dikenakan, alas dan air yang dituangkan untuk berwudhu
serta mandi. Dan juga tempat yang dipergunakan oleh seseorang untuk
mandi dan berwudhu harus merupakan tempat yang betul-betul tidak
terkotori oleh ghasab dan tidak diperoleh dengan cara zalim dan
melanggar hak-hak orang lain.
Seseorang yang terkotori dengan kezaliman, ternodai oleh sifat-sifat
nafsu manusia seperti riba, ghasab, mengurangi timbangan dalam
transaksi, korupsi dan usaha-usaha yang dilakukan dengan menggunakan
kekayaan dari sumber yang haram, bagaimanapun akan mengotori ruhaninya
sehingga akan melunturkan diri yang telah shalat. Oleh karena itu,
pengulangan shalat sebanyak lima kali dalam sehari semalam merupakan
sebuah AJAKAN UNTUK MENGHORMATI HAK-HAK ORANG LAIN.
Shalat juga akan menguatkan semangat disiplin dalam diri manusia,
karena bagaimanapun juga, shalat harus benar-benar dilakukan pada waktu
yang telah ditentukan. Pelaksanaan shalat yang dilakukan dengan
mengakhirkan atau mempercepat dari waktu yang seharusnya akan
menyebabkan batalnya shalat yang dilakukan oleh seseorang. Demikian juga
dengan aturan dan hukum-hukum lain dalam masalah niat, berdiri, ruku’,
dan sujud. Memperhatikan semua ini akan menumbuhkan kedisiplinan dalam
kehidupan sehari-hari menjadi betul-betul mudah dan lancar.
Terakhir, pembahasan tentang shalat akan ditutup dengan sebuah hadis;
Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. suatu ketika ditanyakan tentang makna
shalat “Tujuan disyariatkannya shalat adalah PENGAKUAN TERHADAP
KETUHANAN ALLAH SWT, MELAWAN SYIRIK DAN PENYEMBAHAN BERHALA, BERDIRI DI
HADAPAN HARIBAAN-NYA DALAM PUNCAK KEKHUSYUKAN DAN KERENDAHAN DIRI,
MENGAKUI DOSA-DOSA SERTA MEMOHON PENGAMPUNAN-NYA TERHADAP DOSA-DOSA YANG
TELAH DILAKUKANNYA, DAN MELETAKKAN DAHI UNTUK HORMAT KEPADA-NYA.
Demikan juga, tujuan disyariatkannya shalat adalah supaya manusia
senantiasa TERJAGA, AWAS ELING DAN WASPADA. Hati yang tercerahkan tanpa
ada keakuan yang berlebihan, tidak sombong dan mabuk dengan diri dan
hartanya, agar manusia menjadi orang-orang yang khusyu’ dan tawadhu’,
serta mencari dan mencintai TUHAN. Selain konsistensi doa-doa kepada
Allah sepanjang hari dan malam yang dihasilkan dari sinar shalat, shalat
akan membuat manusia menemukan JATI DIRI YANG SESUNGGUHNYA.
Insya Allah.
Wong Alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar