Strategi dakwah haruslah yang komunikatif menghargai universalitas dan pluralitas budaya. Tidak boleh dengan agitasi dan teror.
Di kampung halaman saya, ada beberapa alumnus Ponpes Ngruki, Solo
yang terkenal dengan kehebatannya berdakwah. Ponpes yang diketuai Ustad
Abu Bakar Baasyir ini di mata para penegak hukum (Polisi) konon dianggap
ponpes tempat bersemainya bibit Islam garis keras yang kemudian dicap
sebagai penyebar gerakan terorisme di Indonesia.
Selain alumnus Ponpes Ngruki, ada juga alumnus Al-Fatah, Desa
Temboro, Kecamatan Keras, Magetan yang juga terkenal dengan para
pendakwahnya. Konon, para alumnus ponpes ini terbiasa menggunakan metode
dakwah dengan berjalan-jalan dari kampung ke kampung menyebarkan agama
Islam. Konon, mereka hidup bergerombol seperti kaum nomaden. Membekali
diri dengan kompor dan bahan makanan seadanya untuk diolah dan
dikonsumsi di sela kesibukan berdakwah di masjid-masjid kampung.
Dari dua alumnus ponpes di kampung saya tersebut, saya ingin berbagi
pengamatan. Setidaknya ada kemiripan kedua alumnus tersebut yaitu
PENAMPILAN. Bila sebelum masuk ke Ponpes Ngruki dan Al Fatah hanya
mengenakan sarung dan berpeci, maka usai lulus di kedua pondok tersebut
penampilan mereka langsung berubah. Memakai jubah putih panjang,
memelihara jenggot dan menggunakan penutup kepala putih. Apakah ini
pertanda mereka sudah memasuki Islam secara penuh (kaffah), saya tidak
berani untuk menjawab.
Yang jelas, secara pribadi saya mencatat hal-hal yang mencolok dari
kedua alumnus ini. Setelah lulus dari Pondok, mereka rata-rata MERASA
terpanggil dan berkewajiban untuk menyebarkan “agama Islam” kepada orang
lain. Biasanya “agama Islam” dipahami dan dihayati hanya sebagai sekte
aliran kepercayaan. Bukan sebagai keseluruhan manifestasi bangunan hidup
alam semesta dan kemanusiaan.
Saya mencatat beberapa kelemahan mereka:
Pertama, rata-rata alumnusnya merasa lebih benar dan lebih takwa
dibanding dengan orang lain. EGO/KEAKUAN-nya lebih tinggi sehingga orang
lain dianggap sebagai obyek yang harus diIslamkan. Padahal, bila
spiritualitas manusia sudah sedemikian tinggi maka EGO/KEAKUAN ini
justeru harus dihilangkan sama sekali hingga sampai di taraf ORA DUWE
RASA DUWE.
Kedua, mereka kurang EMPAN PAPAN dan KURANG TOLERAN. Biasanya tanpa
mengenal lawan bicara, mereka langsung mengeluarkan jurus-jurus
ayat-ayat suci dan mendakwa apa yang ada di luar ayat suci sebagai
kafir, bid’ah dan takhayul. Harusnya mereka belajar secara mendalam
berbagai “ilmu dunia” untuk mendukung dakwah, misalnya ilmu sosiologi,
ilmu komunikasi dan psikologi. Mengeluarkan jurus persamaan dengan kitab
suci secara langsung dan secara leterluks/teksbook bisa membawa pada
AGITASI dan TEROR.
Ketiga, kurang menghargai UNIVERSALITAS DAN PLURALITAS budaya, adat
istiadat masyarakat di sebuah wilayah/perkampungan. Hal ini nampak dari
keinginan mereka untuk merubah budaya, adat istiadat lokal setempat
yang dinilai belum Islam. Menurut mereka, hanya budaya tertentu saja
(misalnya budaya Arab) saja yang dinilai sebagai budaya Islam.
Saya mencatat kelemahan-kelemahan mereka dengan harapan agar mereka
memahaminya. Lantas kemudian melakukan koreksi untuk memperbaiki diri.
Salah satu saran saya adalah: bila Anda sudah lulus ponpes terkenal
tersebut, perbanyaklah terus menuntut ilmu. Hargai perbedaan budaya/adat
istiadat dan hargai pula perbedaan sifat karakter masing-masing
individu.
Islam diturunkan dengan damai, perlahan, santun dan mengedepankan
cinta kasih, memahami prinsip universalitas dengan strategi yang cerdas.
Harus menyatu, bersenyawa dan melebur dengan budaya masyarakat
setempat. Bukan dengan dakwah yang keras, primordial dan radikal.
Mohon maaf bila pernyataan saya ini menyinggung Anda. Anggap ini
sebagai kritik yang membangun dan keinginan saya untuk berbagi rasa
welas dan asih karena sangat disayangkan bila niat suci yang ada di dada
Anda harus pupus oleh tuduhan yang negatif.
Semoga kita semua selalu diberi-Nya keluasan nalar budi dan
kebijaksanaan perilaku sehingga bisa bersenyawa dengan hati orang lain.
Terima kasih dan mohon maaf bila ada yang kurang berkenan. Wass…
wongalus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar