Salah satu saat yang paling saya sukai saat malam hari adalah
berkumpul dengan rekan-rekan wong Jowo yang menamakan dirinya Paguyuban
Ngesti Tunggal (Pangestu). Jangan bayangkan paguyuban seperti ini
semacam sekte tertutup, eksklusif dan wingit tapi sebaliknya. Mereka
adalah sama seperti kita yang terbiasa diskusi ngalor ngidul secara
ilmiah maupun batiniah.
Seperti Senin malam kemaren. Saya bergabung dengan komunitas ini
untuk membahas satu buku induk Paguyuban Ngesti Tunggal yang bernama
SERAT SASONGKO JATI. Setelah membaca dan mengartikan kata demi kata buku
babon berbahasa Jawa itu, kami terlibat dalam diskusi tentang
spiritualitas ketuhanan lintas agama dan kepercayaan.
Mulailah kami membahas tentang tingkatan-tingkatan untuk memahami
hakikat sholat, mulai dari SEMBAH RAGA, SEMBAH CIPTA DAN SEMBAH RASA.
Sholat diartikan sembah raga, karena di dalam sholat kita melakukan
aktivitas fisik tertentu yang sesuai dengan syariat agama. Mulai dari
apa arti dari mengangkat tangan saat takbir sampai sujud. Sholat
diartikan sembah cipta apabila pikiran kita terfokus pada satu titik
yaitu Gusti Allah. Dan yang terakhir adalah sholat sebagai sembah rasa,
yaitu sholat adalah sebagai sarana rasa sejati kita untuk bertemu dengan
Tuhan Yang Maha Dekat.
Mengartikan sholat semacam ini tentu saja tepat dan mendalam. Sholat
tidak hanya aktivitas fisik, melainkan psikis dan juga ruhani kita
haruslah madep mantep tanpa mikir ngalor ngidul lagi Semuanya bersatu
dalam fokus dalam suasana batiniah yang hening untuk bertemu dan
bertamu, menghadap wajah-Nya, berkomunikasi rasa antara aku sejati
dengan Engkau Sejati yaitu, Allah.
Intinya, bahwa sholat adalah wahana dan sarana kita untuk
manunggaling kawulo Gusti, bersatunya aku dengan AKU-NYA Tuhan.
Persenyawaan ini bisa dipahami karena dalam sholat sesungguhnya kita
sedang membuka kulit-kulit perasaan manusiawi kita yang kasar sehingga
tinggallah dalam diri kita satu perasaan dasar yang murni atau rasa,
yang merupakan jati diri seorang individu (aku). Aku Sejati inilah
manifestasi Tuhan dalam individu tersebut. “Rasa adalah aku dan aku
adalah Gusti”
Dalam sholat juga terungkap adanya tujuan hidup manusia yaitu untuk
TAHU dan MERASAKAN. Rasa tertinggi dalam dirinya sendiri. Pengakuan akan
rasa tertinggi ini dicapai dengan cara memiliki kehendak yang murni
dengan cara memusatkan kehidupan batinnya, mengintensifkan dan
memusatkan semua sumber spiritualnya pada satu fokus kecil namun mampu
menghasilkan energi terbesar.
Pada tingkat pengalaman sholat yang merupakan kebersatuan dengan
eksistensi tertinggi, kita bisa merasakan semua yang ada ini sejatinya
SATU DAN SAMA, keakuan kita hilang dalam individualitasnya. Ini
disebabkan karena rasa aku itu bersumber dari Gusti Allah, sebuah obyek
abadi yang dialami semua subyek manusia.
Pengetahuan tentang rasa tertinggi merupakan tujuan pencarian mistik
yang luhur dan harusnya menjadi tujuan keagamaan semua kepercayaan dan
semua agama. Tindakan pemahaman ini sering dianggap memiliki dua tahap
utama: NING harafiah berarti HENING, diam yang menunjuk kepada emosi
yang setenang-tenangnya dan kemundian NING KEJERNIHAN dan PENGETAHUAN
yang dalam, GERAK HATI yang mengikuti keheningan dan yang bisa merupakan
sesuatu yang sangat emosional. Biasanya hal ini dilukiskan sebagai
SUWUNG atau KOSONG atau KABEH KUI SEJATINE ORA ONO, SING ONO KUI DUDU.
(Semua itu hakikatnya tidak ada, yang ada itu sesungguhnya tidak ada…)
Untuk mencapai sholat sekhusyuk-khusyuknya, seseorang harus NGESTI
TUNGGAL. Ngesti artinya menyatakan semua kekuatan individu dan
mengarahkannya langsung kepada sesuatu tujuan tunggal, pemusatan
kemampuan fisik, psikologis dan ruhaniah ke ALLAH SWT saja. Hal ini
merupakan penggalian mental yang intens pencarian pengertian yang
didukung oleh kehendak yang tidak tertahankan dan suatu penggabungan ke
dalam suatu kesatuan sederhana dari berbagai kekuatan di dalam individu
tersebut. Semua indera, emosi, seluruh proses fisik psikis tubuh dibawa
ke satu persenyaraan dan dipusatkan kepada SATU TUJUAN TUNGGAL, GUSTI
ALLAH SWT…..
Akhirnya, tanpa kami sadari diskusi sedemikian gayeng. Malam yang
dingin berganti pagi. Adzan subuh bergema dan kami bergegas untuk Ngesti
Tunggal.
Wong Alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar