“Hanya saja, kenapa ada orang yg memiliki talenta lebih dari
yang lainnya ? Dan ada pendapat maqom tiap org berbeda ? Sejauh yg saya
tahu, hal ini sudah menyangkut derivasi hukum sebab akibat. Artinya,
bukan standar kekamilan manusia dari Tuhan, melainkan ada unsur
kreatifitas dan tekad manusia dalam menggapai kesempurnaan hidup. Ibarat
menanam pohon mangga, buahnya tidak hanya dinikmati sendiri oleh yg
menanam saja, namun bisa LUMUNTUR dipanen oleh anak cucu, atau anak
turunnya…” (Ki Sabda Langit)
Matur nuwun ki sabda yang telah turut serta mbeber keruwetan hakikat
manusia ideal yaitu manusia yang jadi diri sejatinya sendiri — yang
dalam terminologi agama sering disebut insan kamil itu. Sehingga semakin
jelas arah perjuangan hidup manusia yaitu perlu disesuaikan dengan
potensi-potensi awal yang dimilikinya untuk menyelesaikan misi hidup
berdasarkan atas visi yang telah dituliskan-Nya untuk kita.
Yang saya maksud dengan potensi awal adalah bakat bawaan lahir dan
karakter/sifat tetap pada diri manusia yang tidak akan berubah-ubah.
Potensi awal yang berupa hardware dan software ini juga menjadi modal
manusia yang memiliki ukuran maksimal meskipun sudah dioptimalkan
seoptimal-optimalnya. Misalnya, sak hebat-hebatnya saya dalam olah
matematika pasti masih lebih bodoh daripada Albert Instein. Sak
hebat-hebatnya ilmu kebatinan yang saya miliki, masih kalah hebat dengan
para pembaca dan seterusnya.
Yang bisa mengukur seberapa jauh seseorang itu mampu mengoptimalkan
potensi terselubung kemanusiaan adalah melalui PERCOBAAN. Kalau belum
dicoba… kita tidak akan bisa mengukurnya. Misalnya, tukang becak seperti
saya mungkin hanya mampu sangat kreatif dalam bidang perbecakan,
misalnya cara mengayuh dengana paling sedikit tenaga… ada batas
kemampuan yang tidak bisa saya lampaui lagi meskipun otak, tenaga, dan
kreativitas saya sudah pol…
Kecuali bila saya sejak awal sudah dibisiki oleh malaikat atau
mungkin malah Tuhan sendiri untuk mengerti seberapa hebat saya nanti
mampu mengoptimalkan diri… Orang yang sudah dibisiki BERARTI NGERTI
SAKDURUNGE WINARAH, mengerti takdir sebelum terjadi berarti manusia yang
hebat karena atas perkenaan-Nya dia diperbolehkan membuka kitab GBHN,
Garis Besar Haluan Ngauripe Jalma Manungso.
Namun bila pengetahuan saya dan pembaca pas-pasan saja.. ya
logikanya mungkin sebagai berikut; Ibaratnya saya diciptakan Tuhan
menjadi sepeda motor yang kapasitas mesinnya hanya 100 CC, maka mustahil
saya bisa menyalip saudara-saudara yang diciptakan menjadi motor yang
mesinnya 200 CC. Meskipun sudah habis-habisan saya mengoptimalkan mesin,
menguprek karburator dan mengupgrade tongkrongan motor hingga
aerodinamisnya hebat.. tentu saja masih kalah dengan sepeda motor yang
mesinnya 200 CC, apalagi bila ikut-ikutan diuprek… dan seterusnya.
Untunglah Tuhan Maha Adil dan Bijaksana. Sehingga tidak mungkin
memperlombakan motor 100 CC dengan 200 CC dalam satu arena balap motor.
Bila dikatakan maqom-nya berbeda, ya mungkin saja benar. Maqom adalah
kategori CC mesin sepeda motor. Namun saya kurang sepakat bila maqom
yang lebih tinggi pasti lebih nyaman, aman dan selamat. Bisa jadi malah
sebaliknya.
Kita juga tidak perlu menggugat kenapa Tuhan menciptakan saya yang
hanya bermaqom/bermesin 100 CC, sebab Tuhan akan mengukur baik-nya
kualitas motor bukan dari kecepatannya di arena balap (dimensi dunia),
namun berdasarkan atas bagaimana seseorang pengendara (ruh/jiwa manusia)
itu mengelola motor (badan-nya) sebaik mungkin (dimensi akhirat).
Bagaimana motor itu dicat, dimodifikasi sedemikian rupa hingga
terlihat indah dan apik sehingga lebih enak dinikmati dan disewa oleh
tukang ojek. Dan juga yang tidak kalah penting adalah aspek kemanfaatan
manusia.. oleh karenanya adalah bagaimana dia bermanfaat sebagai alat
angkut peradaban ke arah yang lebih baik. Belum tentu yang maqom-nya
tinggi lebih bermanfaat dibandingkan dengan kita yang maqomnya hanya 100
CC.
Apalagi bila kita mengingat bahwa dimensi pragmatis/Kemanfaatan
seseorang itu adalah amal sholeh kita di dunia. Semakin seseorang itu
mampu mendatangkan manfaat untuk perbaikan peradaban dan semakin
memuliakan kemanusiaan (hak-hak/kewajiban-kewajiban asasinya), membangun
negara agar gemah ripah loh jinawi tata tentrem karto raharjo, hingga
yang amal yang terkecil misalnya menyingkirkan duri di jalan umum maka
di situlah derajat kita akan melambung dan meninggi.
Kalau diperdalam lagi dengan pertanyaan, KENAPA TUHAN MENCIPTAKAN
MAQOM/TINGKAT-TINGKAT/DERAJAT manusia secara berbeda-beda, kok tidak
satu saja sehingga lebih mencerminkan aspek keadilan? Terus terang saya
tidak mampu mengetahui secara pasti iradat-Nya yang seperti ini. Mungkin
sah-sah saja bila kita katakan bahwa Gusti adalah MAHA SAK KAREPE
DHEWE… Logika saya tidak mampu lagi menjangkau keinginan-Nya secara utuh
dan lengkap. Mungkin juga karena jawaban ini berasal dari saya yang
belum mampu untuk MANUNGGALING KAWULO LAN GUSTI…
Kalau logika ini diibaratkan pada sepeda motor, maka jawabannya
mudah. Namun pasti tidak tepat. Misalnya, Kenapa bangsa Jepang
menciptakan beragam sepeda motor dengan besarnya isi silinder/ CC dan
model yang beragam? Jawabannya mudah, yaitu memenuhi selera pasar yang
beragam sehingga pundit-pundi masuk ke bangsa mereka. Namun bila analogi
ini diterapkan pada kenapa Tuhan menciptakan manusia yang beragam
maqom/tingkat/derajat, kesadaran yang bertingkat dst… Waduh amat tidak
terpujinya saya bila menjawab bahwa ini untuk memenuli selera pasar
keduniawian hehehe…. Mungkin Ki Sabda Sendiri yang harus menjelaskan
kepada kita, kenapa Tuhan berperilaku SAK KAREPE DHEWE?
Jadi ya, pada akhirnya saya hanya bisa pasrah total, sumeleh dan
sumarah saja terhadap kehendak Sang Maha Penilai. Mau diberi mesin 100
CC, 125 CC atau 250 CC atau malah 1000 CC, semuanya adalah anugerah
pemberian-Nya yang perlu disyukuri. Apalagi kita diberi gratis tanpa
membayar. Kecuali kalau mesin kita rusak, maka kita bertanggungjawab
untuk memasukkannya ke bengkel dengan biaya kita sendiri. Pemberian
adalah cobaan kita, apakah kita mampu dinilai menjadi yang terbaik
berdasarkan atas ukuran-ukuran-Nya sendiri.
Dalam kitab suci dikatakan bahwa ukuran kemanusiaan yang sempurna
adalah KETAKWAANNYA, MANUTNYA KITA PADA KAREP/IRADAT/KEHENDAK YANG MAHA
KUASA. Begitu sederhananya ukuran kemuliaan maqom seseorang itu.
Sehingga dengan begitu saya dan panjenengan semua bisa menyalip derajat
ketakwaan mereka yang maqomnya lebih tinggi, misalnya Adam, Nuh, Isa,
Musa bahkan Muhammad SAW.
Mungkin di sinilah letak keadilan Tuhan. Dia tidak membedakan apakah
saya hanya bermesin 100 CC atau 1000 CC. Semuanya sama di hadapan-Nya
sehingga pastilah terbuka kemungkinan kelak saya dan Anda lebih bertakwa
daripada para Nabi/Rasul dan lebih mulia derajat/maqom-nya. Maka kita
tidak perlu heran bila suatu ketika surga (mungkin hanya simbolisasi
dari “tempat yang indah” setelah adanya pengadilan akhir setelah jagad
raya ini digulung habis) itu dipenuhi oleh orang-orang yang mengakui
bahwa dirinya daif/lemah/bodoh kemudian bergegas untuk membuka buku alam
semesta dan belajar untuk menjadi arif bijaksana seperti panjenengan
semua … insya allah.
Para nabi dikatakan sebagai manusia yang sempurna, namun
kenapa tidak bisa merumuskan hukum alam dan mengolahnya untuk
kemanfaatan hidup sebagaimana para penemu alat-alat/insinyur
mesin/arsitek dan seterusnya?
Menurut saya, justeru dari kebodohan/ketololan kognitif para nabi
inilah tampak kepolosan budi pekerti mereka. Pengetahuan yang para nabi
dapatkan oleh karenanya bukanlah berasal dari olah pikir dalam paradigma
ilmu pengetahuan sebagaimana para filsuf yang sudah ada sebelum para
nabi dilahirkan. Ini membuktikan sesungguhnya yang bisa diteladani dari
seseorang bukan karena kemampuannya mengolah akal pikirannya semata-mata
melainkan karena seseorang itu telah ditunjuk-Nya menjadi utusan untuk
menyampaikan risalah Tuhan. Salah satu caranya adalah BERBUDI PEKERTI
YANG LUHUR…
Jelas tidak mungkin bila hanya seorang Muhammad SAW dan para nabi
sebelumnya bisa merekayasa peradaban sedemikian hebatnya hingga mampu
mempengaruhi bumi yang diisi oleh milyaran manusia ini bila tanpa campur
tangan DIA YANG SERBA SAK KAREPE DHEWE. Satu kepala/satu otak secerdas
apapun tidak mampu membuat milyaran manusia bisa tunduk patuh sujud
menghadap kiblat untuk menundukkan keakuannya masing-masing dan mengakui
Dia Yang Maha Akbar.
Apalagi ketundukan individual tersebut tidak hanya berada di aras
kognitif saja (sebagaimana pengakuan kita pada kehebatan para pemikir)
tapi juga keasyikan batiniah untuk berkomunikasi dan bermesraan dengan
sesuatu yang adikodrati dan Maha Superpower.
Pada titik tertentu, menurut saya, para Rasul/Nabi itu hanyalah
berfungsi sebagai SANG PENYAMPAI saja. Dia adalah kurir pembawa
surat-surat Tuhan yang kemudian dibukukan menjadi KITAB SUCI oleh
manusia yang hidup di dunia pada masa itu. Jelaslah, SANG PENYAMPAI
dibutuhkan sifat-sifat yang terpuji, sifat tidak bisa berbohong, lugu
dan bisa dipercaya.
Para Nabi dan Rasul tidak perlu menjadi pintar dan bisa ngakali orang
lain. Kemampuan ngakali orang lain dengan kehebatan argumentasi dan
keahlian bernegosiasi biarlah dimiliki oleh kaum politikus dan kaum
intelektual kampus yang sibuk berteori namun belepotan untuk ngelakoni
teori tersebut. Hehehe… Para Nabi dan Rasul yang tidak bisa goroh dan
lugulah yang bisa dipercaya.. Dan ini disebut manusia yang sempurna.
Yang ukuran kesempurnaannya bukan pada bagaimana dia menghasilkan
sesuatu dan mampu merumuskan hukum alam, namun mampu menggunakan hukum
alam itu demi kemanfaatan kemanusiaan melintasi ruang dan waktu.
Dari sisi tertentu, para rasul itu terbukti juga sudah mengeluarkan
energi potensi kemanusiaan (hardware dan software) habis-habisan juga
sesuai dengan yang mereka miliki. Pertolongan Tuhan datang setelah dia
kehabisan energi akal, nafsu dan kehendak untuk berjuang. Ini berarti
perjuangan mereka sudah habis-habisan, entek entekan… Dan Tuhan Yang
Maha Terpuji akhirnya mengulurkan tangan-Nya dengan kasih sayang dan
pengharapan.
Berbeda dengan para penemu/orang brilian dan jenius yang diakui
sejarah. Mereka menemukan sesuatu alat, yang belum tentu terbukti
kemanfaatannya untuk kemajuan lahir dan batinnya peradaban ini. Banyak
penemuan alat-alat baru yang terbukti malah membuat peradaban ini
terseok-seok dan hampir memusnahkan manusia sendiri. Penemuan alat
komunikasi misalnya Handphone.. mungkin membuat kemudahan kita
berkomunikasi, namun pada akhirnya bisa jadi menumpulkan kemampuan
manusia untuk berkomunikasi batin dengan orang lain. Bukankah dulu
manusia berkomunikasi dengan telepati dan hasilnya tidak mengeluarkan
ongkos mahal? Kemampuan manusia untuk berkomunikasi lintas dimensi ini
yang sekarang semakin tumpul seiring dengan kemudahan-kemudahan yang
kita terima…
Penemuan mobil atau kendaraan seakan mempermudah pergerakan manusia
antar ruang dan waktu. Bumi dianggap semakin sempit. Namun belum tentu
membawa manusia pada jalur kemanusiaan yang lebih lengkap. Justeru tanpa
mobil dan kendaraan manusia bisa jadi semakin mampu menghayati hidupnya
secara lebih baik karena kendaraan fisik justeru memiskinkan kendaraan
batin untuk mengakui bahwa bumi ini luas dan alam semesta ini misterius.
Mungkin begitu ki sabda, alur logika saya yang awur awuran dan kurang
trapsila ini. Monggo dikoreksi bersama kesalahannya dan Semoga kita
semua selalu berada dalam angan-angan-Nya setiap saat. Nuwun dan
ngapunten bila ada kata yang kurang berkenan.
Salam sih katresnan.
Wongalus
Yth Kagem Mas Tomy, matur nuwun tambahan pencerahannya. Semoga kita bisa terbebas dari kungkungan segera…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar