Bagian paling sejati dari manusia adalah ruh. Keabadian ruh
adalah paling nyata terlihat pada mereka yang telah menggunakan
kesadaran makrifatnya dengan lurus. Bismillah…
Ruh tidak melekat pada tubuh manusia. Meskipun dia dikatakan berada
“di dalam” diri manusia, namun ia tidak sungguh-sungguh dibatasi oleh
tubuh yang berada di dalam ruang dan waktu. Ruh adalah sebuah bentuk
yang tanpa waktu dan berada di luar waktu, yang berlaku kekal dan abadi
sejak sebelum penciptaan alam. Untuk dikenali, ruh kemudian “masuk” ke
dalam tubuh/jasad yang ada di dalam ruang dan waktu.
Bisa dikatakan ruh menjelma menjadi manusia yang berjasad dan
berjiwa. Bentuk dan rupa ruh hingga kini tidak diketahui. Apakah
bentuknya seperti manusia namun seperti bayangan belaka ataukah seperti
asap, tidak diketahui. Kita hanya bisa mengatakan bahwa ruh adalah
bagian manusia yang paling halus. Kenapa tidak diketahui? Itu sebab kita
tidak pernah melihat, mendengar, meraba ruh sebelumnya. Sehingga
bentuknya tidak ada di dalam gudang memori manusia. Pada tulisan
terdahulu yang berjudul HIDUP YANG SEMENTARA telah sedikit diulas bahwa
pengetahuan kia tentang ruh itu bukan berasal dari
pengamatan/pengalaman.
Pengetahuan tentang ruh sudah diinstal secara otomatis ke dalam diri
manusia. Manusia tinggal membuka program dan kemudian
mengaplikasikannya. Alat untuk mengetahui tentang ruh adalah akal budi
yang merupakan sumber hidup manusia yang sesungguhnya. Meskipun
mendiskusikan soal ruh adalah sebuah upaya yang sia-sia, namun ruh juga
tidak sepenuhnya menutup diri dari pengetahuan akal. Adalah watak dasar
manusia untuk ingin tahu tentang segala hal, termasuk soal ruh ini. Ruh
kemudian diletakkan sebagai barang atau benda yang berada di “luar” diri
dan kemudian diteliti secara obyektif.
Salah satu cara untuk mendekati keberadaan ruh ini adalah menganalisa
mereka yang sudah mengalami NEAR DEATH EXPERIENCE yang kemudian
memberikan banyak pengetahuan tentang ruh. Banyaknya kejadian orang yang
mengalami NEAR DEATH EXPERIENCE atau pengalaman saat mengalami kematian
sementara ini membuktikan satu keyakinan: bahwa ada “sesuatu” yang
hidup saat tubuh jasad fisik ini tidak berfungsi. “Sesuatu” yang
menyadari, mengetahui, dan bisa menceriterakan kembali kejadian-kejadian
runtut itulah akhirnya bisa disimpulkan bahwa ada satu entitas
metafisis dalam diri manusia. Entitas itu kemudian disebut dengan RUH.
RUH ADALAH TUHAN DALAM DIRI MANUSIA. Tidak ada dualitas karena
sesungguhnya RUH MANUSIA DAN DZAT TUHAN TIDAK BERBEDA. KEDUANYA
SESUNGGUHNYA SATU KESATUAN.
Bagaimana sejarah awal “kesatuan” antara ruh manusia dengan ruh
Tuhan? Sebenarnya secara logika, pertanyaan ini pun juga mengandung
kesalahan. Kenapa juga kita selalu memisahkan antara dua ruh yang
sesungguhnya cuma satu? Inilah akibatnya bila kita menggunakan akal
untuk menakar sebuah perkara. Adalah watak akal untuk memilah-milah/
menganalisa/memotong-motong obyek sebagaimana halnya sebuah benda atau
barang saja. Padahal obyek kajian kita kali ini adalah ruh yang bersifat
metafisis! Ah, sebelum pembicaraan kita mengenai ruh ini menjadi
meaningless/tidak bermakna tidak salah kita teruskan saja membaca tanpa
apriori terlebih dulu. Jangan dulu ditanya benar atau salah pendapat
saya kali ini. Yang jelas, ayo dibaca saja tanpa prasangka dulu baru
kemudian dikritik. Monggo, lha wong ini cuma pendapat/opini kok.
Semua hal terjadi karena sebuah proses. Bumi, matahari, bulan,
galaksi tercipta karena proses ledakan besar. Begitu pula dengan ruh.
Ruh juga mengalami proses penciptaan sehingga menjadi seperti sekarang
ini. Syahdan diungkap dalam “kitab teles” kasunyatan, awalnya hanya ada
satu dzat saja yang Ada. Dzat itu tidak punya nama sebab dia tidak
dikenal. Lha siapa yang mengenal kalau hanya satu dzat saja? Bukankah
nama-nama tersebut ada karena ada dua atau lebih sesuatu sehingga perlu
diberi nama? Coba kalau hanya satu, maka tidak perlu dberi nama. Lha
siapa juga yang memberi nama kalau hanya ada satu diri di “alam awang
uwung?” Boleh dikatakan saat itu hanya ada satu ruh saja. Ruh yang
satu ini memiliki energi kreatif yang berlimpah. Dia kemudian ingin
“dikenal”.
Hmm… kata “dikenal” ini sebenarnya tidak tepat. Kata ini sama sekali
tidak mewakili apa yang sebenarnya “diinginkan”-Nya. Apalagi kata
“dikenal” sudah mengalami pemiskinan makna seperti abad sekarang. Dia
bukanlah selebritis sebagaimana yang kita kenal di dunia sinetron.
Namun, apa ada kata lain yang mewakili ya? Yang jelas, Dia Yang Satu
ini kemudian berkata “Kun Fayakun”… “terjadilah”… kata ini mengandung
maksud bahwa Yang Satu ini ingin menjadi Yang Banyak. Yang Satu ingin
mengejawantah menjadi Yang Banyak. Yang banyak ini kemudian menjadi
partikel-partikel mulai yang terkecil yang tingkat kesadarannya
sederhana hingga yang paling sempurna tingkat kesadarannya.
Yang Satu oleh karena itu berusaha melepaskan diri dari
kesendiriannya. Ruh Yang Satu mulai berpindah dari situasi “berada di
luar dirinya” ke dalam situasi “berada bagi dirinya.” Sebab “berada bagi
dirinya” bisa terjadi karena ada kesadaran-kesadaran Yang lain dari
Yang Satu. Perlu diingat bahwa yang terjadi saat itu adalah Ruh Yang
Satu kemudian membebaskan dirinya untuk diinterpretasi oleh Yang Lain
Yang Bukan Diri-Nya. Proses ini ibarat manusia menciptakan komputer yang
cerdas yang bisa melakukan perlawanan termasuk pengakuan bahwa komputer
itu bikinan manusia. Setelah proses Kun Fayakun tersebut: Kini sudah
ada dua ruh. Ruh Yang Satu dan Ruh Yang Lain.
Kehendak Ruh Yang Satu kemudian memasrahkan kepada Ruh Yang Lain
untuk berkarya. Yang terjadi dalam peradaban manusia saat itu adalah
lahirnya kesadaran bahwa dia berbeda dengan alam sekitarnya. Dia tidak
bisa sepenuhnya disamakan dengan kosmos-nya alam. Dia beranggapan
manusia harus memiliki kehendak bebas sendiri dan kesadaran inilah yang
akhirnya membuat dia merasa memiliki otonomi diri yang tidak ada
korelasinya dengan Tuhan. Kehendak rasional manusia kemudian mengalami
subyektivasi. Manusia menjadi hipokrit, dipenuhi selubung nafsu dan
kenistaan. Nilai-nilai diputarbalikkan sedemikian rupa karena semakin
tidak menyadari dunungnya. Eksistensinya menjadi absurd dan konyol. Itu
karena dia tidak memahami bahwa awal muasal semua yang bereksistensi ini
sejatinya hanya Yang Satu.
Mulailah manusia menata peradaban berdasarkan bentuk-bentuk hidup
dengan prinsip subyektivitas. Kenapa subyektif? Sebab dia tidak
melibatkan Yang Satu dlam proses penciptaan selanjutnya….. Bentuk dan
nafsu-nafsu manusiawi dilembagakan secara formal. Diciptakan kebiasaan,
diciptakan adat istiadat, diciptakan peradaban, diciptakan filsafat
hidup dan ilmu pengetahuan, diciptakan tata kenegaraan, diciptakan
sistem nilai-nilai yang dijadikan perangkap eksistensi manusia. Merasa
hidup dalam sosialitas yang belakangan diketahui sangat mengerikan
akibat ulahnya sendiri itu, manusia kemudian menciptakan agama! Dengan
agama, manusia sebenarnya sedang membuat dogma dan mitos-mitos baru.
Siapa bilang agama diciptakan Tuhan untuk manusia? Manusia sendirilah
yang menciptakan agama untuk dirinya sendiri. Tuhan tidak beragama.
Tuhan tidak butuh agama. Jangan libatkan urusan Tuhan untuk mengungkung
kebodohannya. Tuhan terlalu suci dari dosa-dosa manusia yang terbiasa
merekayasa kebutuhan-kebutuhan dirinya dan merasa seolah-olah paling
tahu apa yang dia butuhkan. Manusia memang sudah sedemikian egois.
Astaghfirullah!!!
Inilah tahap yang terjadi saat ini. Manusia sengaja melemparkan
dirinya, menjauh sejauh jauhnya dari kesatuan dengan Ruh Yang Satu. Diri
manusia yang menjelma dalam ego perorangan memasuki kawasan yang lebih
rumit lagi. Ruhnya terpendam di dasar diri dan tidak mampu untuk
bergerak. Kecuali apabila nanti jasad manusia sudah dinyatakan mati,
maka nyawa ruh akan kembali menyatu dengan Yang Satu. Sebelum mati,
diri manusia membuat suatu tata tertib yang lebih rumit lagi. Manusia
harus berkeluarga, manusia harus bermasyarakat, manusia harus bernegara,
manusia harus memiliki pandangan hidup yang benar dan lurus, manusia
hidupnya harus melaksanakan rencana-rencana A, B, C, D, dan seterusnya….
“Keharusan-keharusan” itu secara sengaja kemudian menciptakan
peradaban dan sejarah dunia. Sejarah dunia yang dipenuhi dengan
pertumpahan darah, egoisme dan pemuasan nafsu jasad saja. Bila proses
penghancuran jagad cilik dan jagad gede oleh si jagad cilik ini terus
berlangsung maka jangan harap ruh manusia akan mampu menemukan kesatuan
dengan ruh Yang Satu. Dibutuhkan sebuah proses penghancuran kesadaran
secara massif alias proses laku utama: “Mati dalam Hidup” sehingga
manusia menemukan kembali jati dirinya. Inilah jalan makrifat tertinggi
yang harusnya ditempuh oleh kita semua: KAWULO DENGAN GUSTI SEBENARNYA
MANUNGGAL DAN JUMBUH. SEBAB SEMUANYA ASALNYA DARI YANG SATU DAN
KESATUAN ITU KINI SUDAH DIHANCURKAN DAN DIRUSAK OLEH MANUSIA.
Dalam kitab suci kata “ruh” itu selalu dinyatakan dalam bentuk
tunggal, bukan jamak. Juga dinyatakan sebagai ruh-Nya. Tidak ada satupun
ayat di dalam Al Quran yang menyatakan bahwa ruh itu diciptakan oleh
Tuhan. Sebab Ruh-Nya hanya satu yang kemudian nitis kepada manusia agar
manusia dapat membangkitkan kesadaran dirinya sendiri bahwa dia adalah
citra-Nya. “Maka, apabila Aku telah menyempurnakannya, dan Aku tiupkan
ruh-Ku ke dalamnya, tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”
Ini salah satu ayat dalam kitab suci yang memaparkan bahwa Yang Satu
(Tuhan) mentamsilkan “tiupan” ruh ke dalam diri manusia. Nah, karena
Tuhan tidak bermulut, maka kita perlu memahami kata “tiupan” itu sebagai
limpahan, pancaran, emanasi ruh-Nya. Itulah sebabnya semua mahluk tidak
terkecuali jin dan malaikat dulu diminta untuk sujud kepada manusia.
Kenapa? Sebab manusia adalah limpahan Ruh Tuhan. Ia selalu suci, tidak
tersentuh ego karena dipancarkan dari “pribadi” yang menjadi manifestasi
yang menyejarah di bumi.
Jasmani manusia kini jumlahnya bermilyar-milyar yang terbentang dari
barat ke timur, namun berapa jumlah manusia yang menyadari bahwa dia
sejatinya adalah diri ruhani yang merupakan pancarah Ruh-Nya? Teramat
sedikit dan mungkin bisa dihitung dengan jari dan yang kita kenal
hanyalah para Rasul, nabi, wali, avatar, atau apapun namanya yang
berperan untuk kembali menuntun umat manusia agar menyadari perannya
sebagai pribadi manifestasi Ilahi. Pribadi yang tidak menyadari
perannya sebagai manifestasi Ilahi berakibat fatal.
Dunia akan kiamat dan yang mampu menyelamatkan hanya manusia yang
kembali menjadi pribadi yang terkendali oleh ruh. Jika jiwa/nafs
merupakan substansi yang menyebabkan makhluk menjadi hidup dan
menjalankan kodratnya maka ruh merupakan substansi yang mampu mewujudkan
iradat manusia. Bila manusia hidup memiliki kodrat dan iradat, maka
iradat manusia hanya bisa bekerja dengan benar bila dibimbing oleh ruh.
Iradat yang benar bukan hasil dorongan dari luar yang palsu, tapi tumbuh
dari dasar pribadinya.
Ingatlah bahwa manusia sudah dibekali dengan kesempurnaan penciptaan.
Dibekali dengan sarana dan prasarana, baik fisik dan metafisik untuk
manunggal kembali dengan iradat-Nya. Bukankah KAWULO SESUNGGUHNYA ADALH
GUSTI???? “Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh-Nya ke
dalamnya. Dia menjadikan bagimu pendengaran, pengelihatan dan perabaan.
Tapi sedikit sekali kamu yang bisa bersyukur!”
Terakhir, memohon maaf bila interpretasi tentang ruh ini ternyata
salah dan melenceng dari kebenaran. Itu semata-mata proses yang saya
lakoni masih sangat terbatas dan semoga akan terus berproses hingga
akhir hayat. Sehingga tercapai benar-benar pengetahuan makrifatullah
tentang METAFISIKA RUH YANG SEJATINYA HANYA SATU DAN TIDAK ADA YANG
LAIN. “Timur dan Barat adalah kepunyaan Allah. Maka kemana saja
menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha
Tahu”
(Wong Alus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar