Kita biasa menyebut
makrokosmos-mikrokosmos untuk menunjukkan pada jagad gede atau alam
semesta dan mikrokosmos atau jagad cilik yang mengacu pada manusia.
Namun saat pemahaman kita sudah mengatasi yang fisik maka itu harus
dibalik. Manusialah yang harusnya disebut jagad gede.
Kosmos artinya teratur.
Kebalikannya adalah chaos yang artinya kacau, tidak teratur. Suatu
ketika lahir cabang ilmu filsafat yang disebut kosmologi. Ilmu kosmologi
menyoroti tentang yang ada yang teratur alam, atau menyelidiki alam
semesta dari sisi hakekatnya. Ilmu ini masuk ke dalam wilayah kajian
ontologi/metafisika, yaitu dasar filsafat yang mengkaji pada yang ada
sebagai yang ada. Yang ada dikaji seumum-umumnya.
Nah, kosmologi ini mengkaji yang
ada khusus dari alam semesta. Ada juga pengkajian ada khusus dari
manusia sebagai makhluk kosmos yang disebut filsafat manusia atau
disebut antropologi metafisik. Kedua ini masih bernaung di bawah induk
ilmu ontologi dan ontologi adalah dasar filsafat. Dan Filsafat adalah
ibu segala ilmu pengetahuan.
Kenapa manusia justeru disebut
makluk makrokosmos? Kenapa manusia tidak disebut mikrokosmos sebagaimana
pemahaman yang dianut banyak pemikir?
Pertama, manusia adalah kunci
memahami jagad/dunia/alam semesta ini. Manusia adalah penakar dan
pemberi nilai-nilai terhadap segala yang ada. Manusia adalah makhluk
yang dusah ditakdirkan tuhan menjadi rahmatan lil alamin. Rahmat dan
pengayom bagi seluruh alam. Manusia lah yang mampu untuk mengukur besar
kecilnya kosmosnya alam semesta. Manusia bisa memberi arti
sekecil-kecilnya terhadap alam semesta hingga ada di genggaman
tangannya, namun juga manusia bisa memberi arti sebesar-besarnnya
terhadap alam semesta.
Kedua, ukuran besarnya alam
secara fisik memang lebih besar dari manusia. Namun pemahaman ini
harusnya tidak dijadikan patokan ukuran yang sungguh-sungguh benar,
khususnya bila kita ingin melakukan perjalanan ruhani yang lebih tinggi.
Secara metafisis, harusnya alam semesta lebih kecil daripada kosmos-nya
manusia. Pemahaman idealistik ini lebih memberi manfaat praktis untuk
memperbaiki dunia yang sudah sedemikian rusak.
Ketiga, manusia bukan bagian kecil dari dunia yang bisa kita lihat dengan mata dan bisa kita dengar dengan telinga ini. Justeru dunialah yang merupakan bagian kecil dari manusia. Sebab manusia bisa mengulur dan mengkerutkan ukuran dunia fisik ini hanya bahkan sebesar pasir! Kok bisa? Bisa… pejamkan mata segelap-gelapnya untuk beberapa lama. Terserah apa menyebut apa untuk aktivitas ini, bisa disebut meditasi, tadabbur, semedi…dst… Anda akan menemukan dunia yang lebih besar dari dunia fisik ini.
Ketiga, manusia bukan bagian kecil dari dunia yang bisa kita lihat dengan mata dan bisa kita dengar dengan telinga ini. Justeru dunialah yang merupakan bagian kecil dari manusia. Sebab manusia bisa mengulur dan mengkerutkan ukuran dunia fisik ini hanya bahkan sebesar pasir! Kok bisa? Bisa… pejamkan mata segelap-gelapnya untuk beberapa lama. Terserah apa menyebut apa untuk aktivitas ini, bisa disebut meditasi, tadabbur, semedi…dst… Anda akan menemukan dunia yang lebih besar dari dunia fisik ini.
Ukuran besar kecilnya dunia di
dalam diri manusia sangat tergantung pada seberapa hebat kita mampu
menyelami angkasa metafisis dalam dirinya sendiri. Jadi ukurannya sangat
relatif. Di dalam angkasa metafisis, galaksi-galaksi jumlahnya tidak
terukur… pokoknya habis sudah akal kita untuk membahas dunia metafisis
yang ada di kedalaman rasa/batin manusia. Sifat besar kecilnya dunia
metafisis ini sangat kualitatif. Tuhan Yang Maha Batin lebih lagi,
mengatasi besaran alam metafisis ini sebagai tempatnya bersemayam.
Hebatnya lagi setiap hal yang
kita temukan di angkasa metafisis belum tentu kita jumpai di alam fisis.
Kedamaian, keselarasan, kemakmuran, keadilan, surga-neraka, baik-buruk,
benar-salah, indah-buruk ada di dunia metafisis ini. Semuanya menjadi
alasan bahwa hendaknya manusia lebih mengorientasikan diri KE DALAM
DIRI-NYA, dibanding mengorientasikan diri KE LUAR DIRINYA.
Yang aneh, karena manusia adalah
JAGAD GEDE/MAKROKOSMOS, kenapa justeru lebih memilih untuk
berkonsentrasi penuh bahkan menghabiskan usianya untuk hidup di JAGAD
CILIK/MIKROKOSMOS? Manusia terjebak untuk hidup di dunia yang sempit,
palsu dan sangat sementara/fana. Menghamba pada kebutuhan fisik di dunia
fisik sama saja dengan mengekalkan kebutuhan tubuh yang sesaat lagi
menjadi bangkai yang busuk. Menomorsatukan dunia fisik dan
kepentingan-kepentingan dunia fisik sama saja dengan memakmurkan kiamat.
Sebab dunia ini tidak kekal dan akan tergulung habis bersama dengan
kiamat.
Manusia tidak mampu mengangkasa
ke langit hakekat. Apalagi sampai ke makrifatullah. Ia berputar-putar di
jagad cilik/semesta fisik untuk mencukupi syariat saja. Syariat yang
sudah ada pun berusaha untuk direkayasa sedemikian rupa sehingga akan
terasa lebih mudah lagi untuk dijalani. Jumlah bilangan Sholat ditawar
dari puluhan waktu, menjadi lima waktu dan itu pun terlupakan.
Bila Jagad Besar manusia telah
dilupakan. Bila aspek batiniah tidak pernah diperdalam. Bila semesta
metafisik ditinggalkan diganti dengan semesta fisik, maka bersiaplah
untuk mengalami kematian. Hidup yang ribet dan ruwet oleh problema yang
tidak pernah selesai dibahas. Bersiaplah pula untuk mengalami sakit
kejiwaan akut, meloncak dari stres ke stres berikutnya.
Sebaliknya, bila hidup ini diorientasikan ke Semesta Metafisik, maka bersiaplah menuju hidup di dalam keabadian. Bersyukurlah mereka yang menjadikan semesta metafisik Yang Maha Luas ini sebagai tempat untuk hidup, berkarya dan bermesraan dengan Sang Pencinta.
Sebaliknya, bila hidup ini diorientasikan ke Semesta Metafisik, maka bersiaplah menuju hidup di dalam keabadian. Bersyukurlah mereka yang menjadikan semesta metafisik Yang Maha Luas ini sebagai tempat untuk hidup, berkarya dan bermesraan dengan Sang Pencinta.
Mulai sekarang tata kembali
kosmos dalam dirimu. Perubahan sekecil apapun di hati/ rasa/qalbu…, owah
gingsirnya batin kita hakikatnya adalah perubahan yang sangat besar
karena perubahan itu terjadi di aras makromosmos. Mari kita lirik
keindahan dan keluasan alam makrokosmos di dalam diri kita, mencebur dan
kemudian hidup abadi di dalam genggaman-Nya.
Di alam metafisik jagad besar
diri manusia, “aku tidak ada… yang ada itu bukan aku” (sejatine ora ono
opo-opo, sing ono kui dudu)….
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar