Alhamdulillah, saya masih diberi Yang Maha Hidup usia. Meski belum
tua-tua amat, namun usia saya juga tidak bisa dikatakan muda lagi. Empat
puluh tahun kurang dua merupakan jumlah yang bagi saya cukup miris dan
berbahaya. Betapa tidak, hampir dua tahun lagi saya memasuki pintu
gerbang tahap dimana Muhammad dulu menjadi nabi di usianya yang empat
puluh tahun. Sebelumnya, Muhammad gigih untuk mengolah hidupnya dengan
kesadaran yang tinggi bahwa suatu saat dia akan mendapat hidayah dan
petunjuk untuk bisa membedakan antara yang benar dan yang salah. Konon,
sebelum diangkat menjadi Nabi dan rasul, Muhammad selain sibuk dengan
urusan bisnis mendampingi isterinya juga sibuk untuk melakukan olah
batin, nyepi hingga di gua hira yang sunyi dan menakutkan.
Kenapa
Muhammad begitu yakin bahwa suatu saat dia akan menemukan sesuatu yang
dicarinya? Jawabannya adalah KEYAKINAN. Hanya keyakinanlah yang menuntun
calon nabi terakhir ini
untuk terus berpikir dan olah rasa. Menyatukan, menata dan merangkai
gelombang-gelombang ketuhanan yang berserak di otaknya agar menjadi
sirkuit yang dahsyat agar bisa terkoneksi dengan jaringan gelombang
ketuhanan yang terpapar di alam semesta. Saya membayangkan nabi saat itu
juga manusia seperti saya dan Anda, pembaca. Yang tidak tahu bagaimana
cara terbaik untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Apalagi Muhammad, si
calon nabi ini konon tidak bisa baca tulis dan juga ngeblog, hehe he..
Tidak pernah mengenyam pondok pesantren, juga tidak punya pengalaman
untuk berguru dengan pembimbing spiritual manapun. Apalagi dia juga
tidak pernah melahap bangku sekolah dan kuliah. Meskipun begitu,
Muhammad yang sangat minim pengetahuan dan informasi dunia luar
ini jelas tidak tinggal diam dan bodoh menyikapi situasi sekelilingnya.
Peradaban yang busuk dan kotor tidak membuatnya ikut-ikutan arus
apalagi sampai larut. Tidak.. Muhammad adalah jenis manusia yang SIKAP
TEGAS. Dia memiliki keberanian untuk berjalan, menjauh dan melihat ke
bukit yang lebih tinggi. Membuat jarak terhadap masyarakat dan peradaban
untuk kemudian bertekad untuk memperbaikinya.
Muhammad bukanlah
orang yang bodoh. Dia orang yang jeli, telaten, kreatif dan jujur.
Kejeliannya mengamati, menganalisa dan menyimpulkan gejala-gejala alam
semesta pada akhirnya menuntunnya untuk mencari jawaban yang final, total
dan selanjut-lanjutnya: Bahwa Tuhan hanya satu yaitu ALLAH SWT! Berbeda
dengan para nabi lain yang harus mencari-cari jawaban SIAPA PENCIPTA
SEJATI dengan cara membandingkan anasir yang satu dengan yang lain,
Muhammad hanya pasrah dengan kehendak hati nuraninya bahwa PASTI ADA
SATU PENCIPTA SEMESTA ALAM SEMESTA, entah apa namanya…. Akhirnya, pada
suatu ketika di usianya yang empat puluh tahun tersebut: Muhammad
dilantik menjadi nabi setelah mendapatkan wahyu yang intinya agar dia
tidak berhenti untuk membaca. Membaca kitab yang tergelar di alam
semesta yang di dalamnya ada milyaran bahkan trilyunan rumus Tuhan ini….
Wahyu yang turun itu menekankan pada satu hal penting: BACALAH DENGAN
NAMA TUHANMU…
Jadi sekarang, Muhammad diperintahkan untuk tidak asal baca,
melainkan MEMBACA DENGAN EMBEL-EMBEL: NAMA TUHAN. Apa ini artinya?
Artinya, bahwa KEBENARAN SEJATI/MUTLAK akan bisa ditemukan apabila
manusia membaca dalam frame bahwa semua yang dibaca, dipikir, dianalisa,
disintesa tersebut semuanya adalah CIPTAAN ALLAH SWT. Itulah inti,
dasar, substansi dari turunnya wahyu yang kemudian bertubi-tubi
mendatangi Muhammad setelah dia menjadi utusanNya. LA ILAHA ILLALLAH,
MUHAMMADAR RASULULLAH hingga akhirnya di usia yang enam puluh tiga tahun
itu Muhammad dipanggil menghadap SANG KHALIK.
Bagaimana dengan
saya? Apakah siap jadi nabi di usia menjelang empat puluh tahun ini?
Rasa-rasanya tidak mungkin. Jangankan menjadi nabi, menjadi manusia saja
saya merasa sangat sulit. Terus terang saya mengagumi mereka yang gagah
menyertakan di depan namanya kata Camat, Bupati, Kepala Badan,
Presiden, Kolonel, Profesor, Ulama, Kiai, Ustadz. Gelar itu di satu sisi
itu adalah track record perjalanan kemuliaan, di sisi lain itu adalah perhiasan dunia yang sebenarnya permainan dan senda gurau.
Begitulah… sangat sulit menjadi manusia bila kita tanyakan: Adakah kaki
telah melangkah sebagaimana yang dimaksudkan dulu oleh Peciptanya.
Adakah tangan telah mengerjakan mendekati gagasan Pembikinnya. Adakah
mata telah melihat, telinga telah mendengar, akal telah mengolah visi,
ilmu dan wacana, mulut telah memakan segala sesuatu sesuai sang
Konseptor ?. Dalam kamus, seseorang distempel Nabi karena nubuwah. Rasul
karena risalah. Wali karena walayah. Dan adalah manusia karena
khilafah. Keempat stempel itu milik Allah, dilimpahkan dan diamanahkan
kepada makhluk dengan strata
dan kualitas yang Ia bikin berbeda. Khilafah itu titipan atau
pelimpahan bagi semua dan setiap manusia: tidak relevan, tidak rasional
dan tidak realistis dan a-historis untuk diambil sebagai ‘icon’ suatu
golongan.
Begitu kita bukan dimaksudkan Tuhan sebagai Malaikat,
Iblis, Jin, hewan atau alam, maka kita Khalifah yang menyandang
khilafah. Tugasnya adalah menghimpun ilmu, melakukan pemetaan, menyusun
disain dan metodologi, menggambar dan mensimulasikan sistem dan
managemen untuk memproduksi “rahmatan lil’alamin”. Bagaimana tugas
manusia? Ternyata realitas berbeda dengan konsep awal.
Sejarah
manusia dihiasi dengan pertumpahan darah yang terlalu banyak, dusta dan
peperangan yang selalu berlebihan, kepalsuan yang bertele-tele,
kebodohan ilmu dan kemandegan akal, kekerdilan mental
dan kebutaan spiritual. Manusia tidak bisa disebut pernah
sungguh-sungguh, konstan dan konsisten mempelajari Tuhan, setan,
demokrasi, nafsu, kebenaran, kemuliaan, dan terutama mempelajari dirinya
sendiri. Manusia melangkah serabutan, berpikir sepenggal, bertindak
instan, menimbang dengan menipu timbangan…
Sekolah dan
universitas tidak pernah benar-benar menyiapkan perjalanan tafakkur,
tadzakur dan tadabbur melalui tahap-tahap pola berpikir linier, zigzag, spiral
hingga thawaf siklus. Universitas hanya mewisuda Sarjana Fakultatif
meskipun kampusnya bernama Universitas. Belum tuntas kaum muda menjadi
murid — orang yang menghendaki ilmu–dipaksakan naik ke bangku
kecongkakan dengan menggelari diri mahasiswa. Para pembelajar dan
pencari ilmu bersemayam di ‘koma’ — begitu dia maha, finallah dan
titiklah sudah perjalanan ilmiahnya.
Di manakah pintu ilmu? Pertanyaan ini sangat mungkin tidak menarik lagi bagi kaum terpelajar. Bagi kaum muda Indonesia, cukuplah belajar demokrasi, world class
society, pilkada, clean government. Pemuda kita sepertinya semakin tak
suka bila ditanya soal Tuhan sehingga mereka lebih memilih memenangkan
Olimpiade Fisika dan cuek terhadap lautan lumpur yang meluap, situ yang
jebol, tsunami, gempa sampai ke urat syaraf otak manusianya yang tumpul.
Padahal kapasitas sistem saraf otak manusia itu takkan pernah sanggup
dirumuskan atau dikuasai oleh si manusia sendiri. Pendaran-pendaran
elektromagnetik CAHAYA ALLAH yang bertebaran bertaburan keseluruh
permukaan bumi, memusat menggumpal di seputar bagian atas ubun-ubun
kepala setiap manusia.
Hmmm…Siapakah yang tak sesat di antara
kita? Makan saja sesat sampai kena kolesterol, asam urat, jantungan,
gagal ginjal, ganti hati dan stroke.
Kehidupan berbangsa dan bernegara kita adalah panggung demi panggung
kesesatan nasional. Pemilu menjadi festival salah pilih wakil dan
pemimpin. 240 juta manusia tersesat ke satu lorong cita-cita: mau kaya,
eksis dan berkuasa. Jalannya beribu-ribu, profesinya berbagai-bagai,
icon-nya berjenis-jenis, namun menuju satu lorong itu juga. Kesesatan
sistem. Kesesatan moral. Kesesatan budaya. Kesesatan ilmu. Kesesatan
bermacam-macam kesesatan, dengan kadar yang juga berbeda-beda. Sesat
moral atau akhlak. Sesat hukum. Sesat sosial. Setiap keputusan ekonomi
yang menjerumuskan orang banyak, policy politik yang kontraproduktif
terhadap keharusan kemajuan dan pembangunan, adalah kesesatan yang
nyata.
Diam-diam
saya menemukan bahwa alhamdulillah kesesatan-kesesatan hidup saya tidak
diketahui umum atau yang berwajib. Itu semua karena sampai usia
menjelang empat puluh tahun ini, Tuhan memperkenankan saya menjadi orang
yang tak diperhatikan, tak didengarkan, selalu diletakkan di luar
garis-garis pemetaan dalam hal apapun saja. Segala yang saya dan kami
lakukan, prestasi dan kualitas apapun saya tetap di luar peta. Maka tak
pernah ada keberanian pada diri saya untuk mengajak orang lain, apalagi
untuk meyakini apa yang saya yakini, untuk berpikir seperti saya
berpikir, untuk menganut apa yang saya anut.. Pandanglah Allah,
Muhammad, Yesus, Budha, Sang Hyang Widhi: take it or leave it. Atau tak
usah memandang siapapun kecuali dirimu sendiri, kepentinganmu sendiri,
sebagaimana Firaun. Engkau merdeka bahkan untuk menjadi Firaun. Itu
urusanmu dengan Tuhan dan dirimu sendiri.
Semua Nabi dan Rasul,
umpamanya Adam atau Yunus, hanya berani menyebut dirinya dholim,
“Robbana dholamna anfusana”, “Inni kuntu minadh-dholimin”. Maka siapakah
aku, sehingga mantap untuk tak melihat diriku tersesat? Kesesatan
adalah milikku sehari-hari. Oleh karena itu mengaku diri manusiapun rasa
belum pantas. Saya hanya ingin kita semua berdoa agar kita selalu
menyadari kesesatan diri sendiri. Sebab berdoa adalah menyapa Allah.
Kalau kita tiap saat minta-minta terus kepada Tuhan, menurut suatu
logika berpikir: tak akan lebih dikasihi oleh Allah dibanding kalau kita
rajin menyapaNya, rajin bercengkrama sama Dia, ‘mentuhankan’ Tuhan
sebagaimana memanusiakan manusia. Tetangga lebih simpatik kepada kita
yang suka menyapanya dibanding yang sering meminta-minta.
Di usia
menjelang empat puluh ini, perkenankan saya memohon maaf atas
perjalanan hidup saya yang banyak merepotkan Anda, menjegal Anda, saya
yang sudah banyak mendebat kebenaran yang meluncur dari mulut Anda, saya
yang sudah dendam dan mendamprat kejujuran Anda dan saya yang sudah
banyak mencolong uang di dompet Anda. Sekali lagi saya mohon maaf yang
sebesar-besarnyA.
SALAM DAMAI DI BUMI, DAMAI DI LANGIT
Wong alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar