Kasus penembakan Nasrudin Zulkarnain, direktur anak perusahaan PT Putra
Rajawali Banjaran menjadi tetenger kita semua. Bagaimana cara-cara
kekerasan semakin mendarah daging untuk memecahkan masalah antar
individu di tanah air di semua kalangan, baik kalangan elite maupun kalangan sandal jepit. Semakin jauhlah kita dari kata damai karena masih ada ketidakadilan dan penindasan Hak Asasi Manusia……
“If there is some corner of the world
which has remained peaceful, but with a peace based on injustices-the
peace of a swamp with rotten matter fermenting in its depths-we may be
sure that peace is false” (Spiral of Violence, Helder Camara)
Helder Camara, adalah pejuang anti
kekerasan. Dia mengungkapkan meski tidak ada perang, namun bila
ketidakadilan dan penindasan merajalela, itu bukan damai sejati. Keadaan
itu digambarkan sebagai air rawa yang permukaannya tenang, namun di
bawahnya menyimpan barang busuk. Tidak bisa kita pungkiri bahwa saat ini
suasana damai menjadi harga yang mahal. Sebab damai sejati membutuhkan
situasi yang bebas dari ketidakadilan yang masih terjadi di mana-mana
dan penindasan yang menghampiri kita dalam hidup sehari-hari.
Adalah Nabi Isa AS, nabi pejuang yang luar
biasa menegakkan kedamaian tanpa cara kekerasan. Jauh sebelum Gandhi
lahir, dia sudah menjadi tonggal sejarah untuk menegakkan bagaimana
manusia bisa berjuang menegakkan kedamaian tanpa harus berdarah-darah
untuk menghapus ketidakadilan.
Isa putera Maryam, lahir semasa Kaisar Agustus memerintah yang terkenal dengan kebijakan politik Pax Romana.
Kaisar ambisius itu melakukan ekspansi besar-besaran dan agresi militer
ke Timur dan Barat sehingga saat meninggal, daerah kekuasaannya seluas
3.340.000 mil persegi atau lebih luas dari Amerika Serikat. Karena
penaklukannya itu, memang tidak ada perang selama 200 tahun. Kemakmuran,
ketertiban, dan stabilitas nasional yang begitu lama belum ada
tandingannya dalam sejarah. Namun, keadaan damai itu tidak ditopang
moralitas elite politik dan keadilan bagi kaum tertindas. Akhirnya Pax
Romana rapuh, digerogoti dari dalam, dan bubar sendiri. Demikian dalam
kata- kata sejarawan Will Durant . Damai tetapi gersang adalah kata lain
untuk damai di atas imoralitas, penindasan, dan eksploitasi.
Epictetus, seorang filsuf Stoa, melukiskan Pax Romana,
“meski kaisar bisa memberikan damai tanpa perang di darat dan di laut,
ia tidak mampu memberikan damai tanpa hawa nafsu, dukacita, dan rasa
iri. Ia tidak mampu memberikan damai di hati, yang dirindukan manusia
lebih daripada damai secara lahiriah.” Damai adalah dambaan manusia
kapan dan di mana pun. Damai adalah situasi dimana manusia mampu
mengendalikan hawa nafsu yang berkobar-kobar. Karenanya, manusia harus
menegakkan akal sehat.
Itulah Makna Idul Fitri,
yaitu setelah manusia digembleng untuk mampu mengendalikan hawa nafsu
dan oleh karenanya dia kembali di jalan yang benar. Dalam konteks
menegakkan kedamaian ala Pax Romana, kata Durant, dibangun di atas
ambisi dan kejahatan politik, oligarki untuk kepentingan sendiri atau
kelompok, korupsi, kekerasan, eksploitasi, agama yang tidak berpihak
pada kemanusiaan.
Nah, yang jadi pertanyaan bagaimana dengan kedamaian yang harus diciptakan dengan semena-mena? Misalnya mengembuskan isu axis of evil,
menjalankan politik agresif atas Irak, dan tetap menutup mata atas
ketidakadilan di Timur Tengah seperti yang dijalankan oleh Amerika
Serikat?…. Di tanah air…agaknya, kedamaian masih menjadi barang yang
mahal. Eskalasi kekerasan horizontal di dalam aras warga sipil semakin
meningkat meskipun rezim Orde Baru sudah runtuh dan militer sudah
terdepolitisasi. Teror bom menjadi gejala anarki sosial yang semakin
biasa. Tinggal menunggu waktu lagi kapan Bom-bom meledak setelah bom
Bali, Makassar dan seterusnya.
Kekhusyukan umat beragama untuk
merayakan hari-hari besar agama terganggu karena ancaman ledakan-ledakan
bom. Korban jiwa, luka, dan cacat seumur hidup tidak dapat diganti
dengan materi. Kerugian materi juga tak terhitung banyaknya. Semua itu
menyisakan tanda tanya.
Pasti ada masalah serius dengan etika hidup bersama dari bangsa yang
sedang menjalani masa peralihan. Dulu terkungkung, kini relatif bebas.
Namun kebebasan itu belum membebaskan bangsa ini dari teror kekerasan.
Sebagian kita belum menghayati makna kehadiran sesama sebagai subyek
yang harus dihormati, sebab menjadikan sesama sebagai korban kekerasan
hanya menurunkan derajatnya menjadi obyek.
Gabriel Marcel (1889-1973), filsuf eksistensialis Perancis, memandang amat penting penghayatan kehadiran sesama (présence)
sebagai jalan menghayati kehadiran Ada. Intersubyektivitas menjadi inti
filsafat Marcel guna menghayati misteri Ada di mana TUHAN adalah ADA
DARI SEGALA ADA. Segala klaim yang mengatasnamakan agama atau TUHAN
menjadi kosong saat kehadiran sesama yang kasatmata itu direduksi menjadi obyek.
Bagi Marcel, ESSE adalah CO ESSE. Kehadiran TUHAN, MANUSIA DAN ALAM harus menjadi obyek cinta
dan segala bentuk tindakan yang positif. Bila tidak, cepat atau lambat
sesama akan direduksi menjadi obyek yang pada gilirannya mudah
DIMANIPULASI menjadi sasaran kekerasan, diskriminasi SARA, diskriminasi
jender, pelecehan seksual. Kemunduran etika hidup bersama menggejala
ketika sesama hanya dipandang dan diperlakukan sebagai obyek belaka.
Perjumpaan antarpribadi yang menyapa dan mengasihi sesama sesuai
martabatnya (RENCONTRE) tidak terjadi. Sebaliknya, dengan bahasa kekerasan seseorang menempatkan diri sebagai pelakunya dan orang lain sebagai korban.
Setelah selama beberapa tahun terakhir ini konflik di Indonesia
dalam ekskalasi yang besar sebenarnya sudah menurun. Terakhir di Aceh
yang menewaskan lebih dari 4.000 orang. Kita semua patut bersyukur atas
Kesepakatan Penghentian Permusuhan itu. Momentum kesepakatan damai itu
akhirnya ditindaklanjuti dengan kebijakan politik proeksistensi. Hak-hak
politik mantan anggota atau petinggi GAM harus dipulihkan dan mereka
dilibatkan secara aktif dalam pembangunan Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD).
Kesepakatan damai harus segera diisi keadilan sosial
sebab pada dasarnya konflik di daera adalah tidak lain buah kekecewaan
daerah terhadap ketidakadilan pemerintah pusat. Kalau tidak, seperti
kata Camara di atas, keadilan yang didasarkan pada ketidakadilan akan
berbuah REKONSILIASI PALSU. Keadilan merupakan prasyarat mutlak damai
sejati. Harus diakui, agresivitas masyarakat sipil di Tanah Air sebagian
dikarenakan keadilan yang jauh dari adil. Adil untuk satu pihak, tetapi
amat tidak adil untuk pihak lain. Bila damai di Aceh bisa terwujud,
harus diteruskan dengan damai di Papua, Poso, Ambon, Kalbar, Kalteng,
dan di tempat-tempat lain. Damai di seluruh Tanah Air seharusnya bukan
utopia Mencermati berbagai tragedi kemanusiaan jujur harus diakui, kita
semua gagal mempromosikan etika proeksistensi. Tidak hanya pemerintah
yang bertanggungjawab melainkan kita semua. Eskalasi kekerasan ini
merupakan cermin merosotnya etika kehidupan berbangsa rakyat Indonesia.
Ini tanggung jawab kita semua. MAKA, KEDAMAIAN BUKAN TANGGUNGJAWAB TUHAN
SANG PENCIPTA ALAM SEMESTA!
SALAM DAMAI SELALU DAN PANTA RHEI…
Wong Alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar