Mengenang gerakan reformasi, saya teringat Nabi Musa. Saat Musa
menentang kesewenang – wenangan Fir’aun, mengadakan sebuah gerakan
pembangkangan melawan kekuasaan. Banyak airmata yang tumpah, banyak
darah tercecer. Memang untuk menghancurkan peradaban, harus melalui
penyakit – penyakit akut yang menggerogoti peradaban tersebut laiknya
rayap.
Penyakit itu akan terus melukai dan secara kontinu dan menjadi kanker
bagi kehidupan peradaban itu. Pada akhirnya peradaban tersebut jatuh
tersungkur. maka itulah yang harus dibuat pada masa itu. Kesewenangan,
kezhaliman harus terus digerogoti. Kita perlu menjadi penyakit –
penyakit bagi peradaban barbar ini. Sekecil apapun sakit yang kita buat,
maka ada kontribusi perih yang bisa kita sumbangan, maka jadilah orang
yang gelisah ini, jadilah penyakit bagi peradaban zhalim…
Pada 12
Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak di
kampusnya saat demonstrasi. Mereka adalah Hafidhin Royan (mahasiswa
Teknik Sipil), Hendriawan (Ekonomi),
Elang Mulia Lesmana (Arsitektur) dan Hery Hartanto (Teknik Mesin).
Kejadian itu memicu kemarahan warga. Sehari setelah itu, kerusuhan besar
melanda Jakarta dan kota-kota lain.
Seolah
ada kekuatan gelap yang merayap dan mengendalikan, ribuan orang menjadi
begitu beringas dan angkara murka pun merajalela. Mereka menjarah dan
membakar pertokoan atau pusat perbelanjaan. Juga mobil dan sepeda motor di jalan raya. Banyak orang tewas terpanggang. Aparat keamanan menghilang. Api dan asap dimana-mana.
Akhirnya, situasi chaos ini
terus berkembang… dolar mengalami lonjakan tajam… Gelombang
ketidakpuasan berkembang dan Soeharto memutuskan turun dari jabatannya.
Kini, sebelas tahun reformasi di Indonesia.
Ketidakadilan kembali menggerogoti bangsa kita. Seluruh elemen bangsa
pasti tidak suka dengan peradaban yang carut marut begini. Tuhan, KAU
kembali menjadi tempat untuk mengaduh dan mengeluh…… Dasar manusia,
ingatnya bila membutuhkan saja.
Wong Alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar