Porong, 2009. Trilyunan kata-kata berjumpalitan ke sana kemari. Gerakannya erotis mirip sperma yang siap muntah; liar,
beringas tapi misterius. Kata-kata menari riang tapi sekonyong-konyong
mengeluarkan jurus yang mematikan. Wush,… kata-kata melayang pelan di
angkasa, lalu turun dengan cepatnya membabat sudut sudut bumi,
blaaarrrr!!!! meledaklah ia di kampung-kampung disertai kabut pekat.
Kenapa
kata-kata kini berubah absurd menakutkan seperti itu? Inilah yang
terpikir di benak warga kampung Jatirongko. Padahal, dulu kata-kata
adalah sosok yang santun jinak bahkan sering berubah menjadi petuah,
pitutur, dan menjadi oase yang menyejukkan kegelisahan.
Di saat warga bergerombol diselimuti tanda
tanya kenapa kata-kata tidak lagi bersahabat seperti dulu, naiklah
Sarip, penjual bakso keliling di atas sebuah truk trailer yang kehabisan
bensin. Rombong baksonya ditinggal begitu saja di pinggir jalan.
Bak
ahli bahasa, dia menceriterakan muasal kata-kata turun ke bumi dan
menjadi sahabat karib manusia. Konon, menurut Sarip, dari segi historis
kata-kata mulanya tidak ada. Dia ada karena masyarakat membutuhkan
sebagai saran komunikasi yang ampuh.
“Dulu, manusia purba masih
hidup individualis di hutan-hutan yang sunyi. Mereka tidak butuh
bersosialisasi dengan kata-kata. Hanya ada bahasa isyarat, bahasa tubuh,
bahasa perasaan, bahasa telepati. Seperti hewan, manusia purba hidup di
taraf yang paling dasar. Tidak butuh aktualisasi diri, tidak perlu
barang mewah untuk mendongkrak harga diri, tidak perlu juga
spiritualitas yang ritmis magis,” papar Sarip dengan mimik serius.
Akibat
dari belum adanya kata-kata kotor, imbuh Sarip, bumi masih tenang.
Tuhan belum murka oleh tangan-tangan setan manusia. Tidak ada rekayasa.
Semuanya dibiarkan alamiah. “Bagaimana mau merekayasa? Lha wong manusia
purba masih belum menyadari keberbedaannya dengan alam,”
Di sela paparan Sarip yang sok filosofis seperti itu, mendadak sebuah mobil
jip warna putih, berroda besar berhenti tepat di depan trailer.
Keluarlah seorang pria parlente. Ganda Riya namanya. Pria paruh baya
yang sehari-hari berprofesi sebagai lurah ini sudah sejak lama memendam
kebencian dengan Sarip yang sok tahu, keminter dan suka menggurui.
Sebetulnya, sang lurah tidak sedang mood
untuk memberi komentar terhadap aksi panggung Sarip. Namun, melihat
gelagat yang mencurigakan Ganda Riya memastikan Sarip sedang
memprovokasi warga dengan kata-katanya. Maka rem mobilnya segera diinjak
dan serta merta dia naik trailer.
“Penjual bakso sukanya membual, he…Rip, kamu ini munafik. Piawai berkata-kata tapi susah melaksanakan kata-katamu sendiri” setengah teriak Ganda Riya berujar.
Disergap dengan tuduhan sepihak yang menohok, Sarip kaget. Tanpa dinyana muncullah satori *)-nya yang heroik untuk membela diri.
“Aku tidak sedang bermunafik, saudara lurah. Coba
lihat mana yang bijaksana, memberikan penjelasan yang rasional seperi
diriku atau membodohi warga dengan janji-janji mulukmu. Mana bisa warga
yang sudah melek informasi ini dibodohi dengan janji akan diberikan
ganti uang, alih alih ganti untung mereka malah buntung! “ Sarip balik
menyerang.
Warga mulai bingung dengan silang sengkarutnya kata-kata dari dua orang berbeda kasta
ini. Apalagi sekarang Sarip dan Ganda Riya mulai memakai bahasa tubuh
untuk melengkapi ekspresi mereka. Sarip mengacung-acungkan alat pemukul
dari pring*) yang biasa digunakannya untuk membunyikan kentongan kecil
yang dibelah sehingga berbunyi tik tok tik tok.
Lain lagi dengan Ganda Riya. Dengan gerakan lincah dan spontan dia menggerakkan jari-jarinya sambil mengempit rokok yang lupa
dinyalakan. Sementara tangan lainnya masih menggenggam korek api. Di
satu jari manisnya, terselip cincin emas lima gram bertahtakan berlian
hasil pemberian isteri simpanannya yang kini sudah membuahkan satu
momongan.
Semakin lama,
debat kusir itu semakin panas. Kata-kata yang meluncur dari mulut
mereka semakin garang bergairah. Mulailah umpat mengumpat, mata mendelik
hingga bola mata yang nyaris berloncatan keluar dari contongnya. Ludah
dua orang dewasa ini saling mengguyur lawan bicaranya. Baunya menyengat, busuk minta ampun.
Lalat
dari sampah di sudut kampung sebelah mulai ikut nimbrung, semakin lama
semakin banyak. Satu lalat mengontak satu batalion lalat. Dua lalat yang
lain mengajak sekaligus empat batalion lalat. Pendeknya, siang terik
itu langit kampung Jatirongko akhirnya dihiasi milyaran batalion lalat
dari seluruh penjuru kota, akibat dari dua mulut busuk beradu pintar itu.
Tiba-tiba, bumi bergetar, kata-kata yang lebih besar muntah dari perut bumi….
Warga Jatirongko panik dan bingung oleh kejadian tidak terduga. Debat Sarip versus
Ganda Riya terhenti sejenak. Bagaimana bisa kata-kata meluber ke ruang
tamu, ruang keluarga, kamar mandi, kamar untuk bersenggama? Dengan
gerakan tanpa rencana, warga mengambil apa saja untuk menyumbat luapan
kata-kata yang busuk disertai lalat ini. Cangkul untuk membuat tanggul
kecil dari tanah di depan pintu, sekop untuk memperdalam got agar bisa
mengalirkan kata-kata secara lancar. Malah ada seorang ibu yang panik
tiba-tiba keluar rumah dengan membawa sutil*).
Musibah apa lagi
ini? Apakah Tuhan sudah bosan untuk memberi pelajaran dengan cara-cara
yang lebih manusiawi dan beradab? Begitu kata Karmo Sengkala, seorang
ulama terkenal dari kampung seberang sungai yang biasa manggung di forum-forum
ceramah agama dan termasuk rajin menyambangi pemirsa di layar kaca
televisi. Sambil mendaras doa, Karmo mengajak warga untuk kembali kepada
jalan yang lurus.
Renungan Karmo tidak sedikitpun menyurutkan
keberanian kata-kata untuk terus menyerang dengan caranya yang membabi
buta. Tanpa kenal ampun, kata-kata melumat apa saja yang ada di
dekatnya. Unik tapi membunuh.
Ratusan orang kelimpungan melihat harta benda yang bertahun-tahun akrab menemani itu kini menjadi rusak. Banyak yang stress dan akhirnya gila.
Penguasa tanggap, mereka yang gila dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Bagi
yang tingkatnya setengah gila masih diperkenankan untuk berkata-kata,
asal tidak mengganggu stabilitas keamanan. Bagi yang masih waras,
penguasa tinggal memantau saja. Penguasa sengaja membiarkan mulut mereka
berbusa dengan kata-kata nylekitnya, toh lama kelamaan akan capek juga
dengan sendirinya.
Luberan kata-kata semakin luas, bahkan kini
mengancam kampung-kampung sebelah. Setidaknya menurut perhitungan tim
nasional penanggulangan kata-kata —tim bentukan penguasa pusat ini— ada
delapan kampung yang nantinya akan dihapus dari peta. Itu pun masih
perhitungan kasar. Bisa jadi perhitungan itu berubah sesuai selera
kata-kata untuk membesarkan jangkauannya.
Yang paling parah
adalah Jatirongko, kampung tempat Sarip dilahirkan, dibesarkan dan
tempatnya mencari penghasilan. Rumah Sarip ada di sisi paling selatan
kampung yang kini mendadak menjadi tempat wisata baru tersebut.
Memandang
rumahnya ditelan kata-kata dan lama kelamaan hanya terlihat gentengnya,
Sarip tercenung. Tapi rupanya ia tegar, tidak ikut-ikutan meratap.
Namun tiba-tiba, matanya berkaca-kaca.
Dia mengingat
ruangan-ruangan di dalam rumahnya. Untuk mencapai dapur rumah dia
biasanya harus sedikit memiringkan tubuh bila kebetulan ada sang isteri
lewat. Tak lupa, Sarip sengaja menggoda isteri dengan mencubit pantatnya
yang bahenol.
Selain itu, di kamar yang sangat jelas diingat
Sarip adalah bentuknya yang kotak dengan ornamen lubang yang di bagian
atas dilengkapi relief-relief
bergaya etnik. Di kamar ukuran 3 x 3 meter itulah dia biasanya tidur
dengan isteri dan anaknya yang belum genap enam tahun.
Tidak
seperti warga desa lain yang kebingungan menyelamatkan rumah, keluarga
dan harta bendanya dari bencana, pria tanpa kumis ini malah lupa
keberadaan isteri dan seorang anak laki-lakinya sekarang.
Malah
kini debat kusir Sarip versus Ganda Riya kembali diteruskan. Dan tiba
pada suatu pernyataan panjang dari Sarip yang akhirnya menyadarkan sang
lurah. Pernyataan itu lengkapnya begini;
Kini, Anda dan saya
sudah menyaksikan betapa dahsyatnya kata-kata. Kata-kata tidak sekedar
gambaran kenyataan. Tapi kata-kata sudah menjelma menjadi kenyataan.
Itulah hebatnya. Sadarlah kawan, kata-kata adalah kehendak untuk mengada
namun juga meniadakannya.”
Akibat dari adanya kata-kata yang
bijak, simpul Sarip, bumi menjadi indah berpelangi, bermandikan cahaya
kebenaran, damai nan tenteram. Kebalikannya, kata-kata dari banyak mulut
busuk telah menjadikan ruang di bumi ini dipenuhi kotoran, laut
diluberi tumpahan minyak, langit sesak oleh persik satelit yang mati.
Porong,
2037. Trilyunan kata-kata yang muntah itu akhirnya membeku. Benar-benar
membeku. Kata-kata melunak jinak. Mereka kembali ke gorong-gorong,
kembali ke got, ke comberan dan ke sawah.
Semua rumah dan
pepohonan sudah rata dengan tanah. Habis tiada sisa. Siang itu, angin
kering menerpa bumi, menerbangkan debu-debu. Terlihat pula sesobek koran
lawas dengan headline “Kota Sidoarjo Lenyap Ditelan Bumi, 380 Kampung
Rata dengan Kata-Kata” diterbangkan angin. Entah menuju kemana…
Di
sudut-sudut kampung yang lain, kondisinya sama. Semuanya makhluk hidup
menghilang termasuk manusia. Termasuk Sarip dan Ganda Riya, yang telah
melumer oleh kata-katanya yang berbusa, kata-kata yang meniadakan
keberadaannya. ***
Sidoarjo, 1 Mei 2009
Wong Alus
Catatan:
*)
Satori adalah pencerahan ala Zen Budhisme. Munculnya Satori tidak
terduga, seperti sekelebat cahaya yang hadir kapan saja dan dimana saja
seseorang berada.
*) Pring: bambu (bahasa Jawa)
*) Sutil: alat untuk menggoreng. Terbuat dari besi yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai sekop kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar