Musibah menjadi bagian penting dari kebahagiaan. Tidak ada
kebahagiaan tanpa musibah dan tidak ada musibah bila tidak ada
kebahagiaan. Dua hal ini mengisi manusia sebagai cara pemenuhan
eksistensinya hingga ke liang lahat. Hukuman Tuhan atau bentuk kasih
sayang-NYA?
Suatu
kali dalam hidup kita pasti pernah ditimpa musibah. Musibah hadir baik
secara secara individual dan juga sosial. Musibah individual di
antaranya saat kita mengalami sakit, kekurangan uang, kegagalan
prestasi, menganggur hingga akhirnya kita meninggal dunia. Sementara
mujsibah sosial misalnya saat ada anggota keluarga kita yang sakit,
bencana alam badai, banjir, menularnya penyakit, kebakaran, tsunami,
tanah longsor dan sebagainya.
Saat terkena musibah, kita bisa putus asa. Masyarakat kehilangan
harapan tidak memiliki masa depan. Tahap demi tahap apa yang kita
bangun seakan tidak ada artinya. Bahkan kita menunjuk Tuhan sebagai
biang keladi musibah, Tuhan tidak adil dan bahkan beranggapan bahwa
Tuhan sedang marah.
Bagi seorang mukmin, musibah merupakan ujian yang menjadi batu
loncatan bagi peningkatan kualitas keimanannya kepada Allah. Semakin
arif dan sabar dalam menghadapinya, semakin tinggilah kualitas
keimanannya dan semakin dekat dirinya kepada Allah. Tidaklah
mengherankan jika segala jeritannya senantiasa didengar Allah. Semakin
tinggi keimanan seseorang, akan semakin tinggi pula ujian yang akan
Allah berikan kepadanya.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja
mengatakan, ‘Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi?’ Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya
Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Q.S. 29: 2-3).
Untuk mengetahui sebab kehadiran musibah, marilah kita menukik ke
hakikat musibah sehingga saat yang tidak menyenangkan ini hadir kita
sudah siap dan ikhlas.
MUSIBAH berasal dari kata ASHAABA, YUSHIIBU, MUSHIIBATAN yang berarti
segala yang menimpa pada sesuatu baik berupa kesenangan maupun
kesusahan. Dari asal kata ini, sesungguhnya kesenangan pun juga
merupakan musibah. Begitulah, dalam hidup di dunia kita pasti menerima
timpaan yang membuat respon diri apakah menjadi bahagia/senang maupun
sedih.
Namun, umumnya dipahami bahwa musibah selalu identik dengan
kesusahan. Padahal, kesenangan yang dirasakan pada hakikatnya musibah
juga. Dengan musibah, Allah SWT hendak menguji AMAL seeorang.
“Sesungguhnya kami telah jadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan
baginya, karena Kami hendak memberi cobaan kepada mereka, siapakah di
antara mereka yang paling baik amalnya.” (QS Al−Kahfi (18): 7)
Membaca ayat ini kita bisa menggaris bawahi bahwa MUSIBAH ADALAH ALAT
UNTUK MENGUJI –ATAU BAHAN UJIAN—APAKAH MANUSIA ITU BAIK ATAU BURUK.
Ada tiga respon dalam menghadapi musibah. Pertama, musibah dianggap
hukuman dari Tuhan. Kedua musibah dianggap penghapus dosa. Ia tidak
pernah menyerahkan apa−apa yang menimpanya kecuali kepada Allah SWT.
Ketiga, musibah dianggap ladang peningkatan iman dan takwanya.
Mana di antara ketiga respon ini yang paling benar? Untuk menjawabnya
kita analisa sebuah surat Asy-Syura (42), ayat 30: “Dan musibah apa
saja yang menimpa Kamu, maka semua itu disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri.”
Pada ayat ini terdapat beberapa poin yang layak mendapat perhatian:
Ayat ini dengan baik mengindikasikan bahwa musibah-musibah yang menimpa
manusia adalah salah satu jenis hukuman dan peringatan Tuhan. Dengan
demikian, salah satu falsafah terjadinya peristiwa yang mengerikan itu
akan menjadi jelas.
Menariknya, dalam hadis yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin a.s.,
yang menukil dari Nabi saw., beliau bersabda, “Wahai Ali, ayat ini
(Tidaklah menimpa Kamu musibah…) merupakan ayat yang terbaik dalam
Al-Qur’an Al-Karim. Setiap goresan kayu yang menghujam ke dalam raga
manusia dan setiap lalai dalam langkah terjadi akibat dosa yang dia
perbuat. Dan apa yang dimaafkan oleh Tuhan di dunia ini lebih santun
dari apa yang dimaafkan oleh-Nya di akhirat.Di
akhirat sana terjadi peninjauan kembali, dan apa yang ditimpakan kepada
manusia di dunia ini lebih adil ketimbang di akhirat, di mana Tuhan
sekali lagi memberikan hukuman kepadanya.
Dengan demikian, musibah semacam ini selain meringankan beban manusia
dalam kaitannya dengan masa mendatang, dia juga akan terkendali. Meski
ayat ini secara lahiriah bersifat umum, dan seluruh musibah termasuk di
dalamnya, akan tetapi pada kebanyakan urusan yang bersifat umum terdapat
pengecualian. Umpamanya, musibah-musibah dan kesulitan-kesulitan yang
menimpa para nabi dan imam a.s. yang berfungsi untuk meninggikan derajat
atau menguji mereka. Demikian juga musibah berupa ujian yang menimpa
selain para ma‘shum a.s.
Dengan ungkapan lain, seluruh ayat Al-Qur’an dan riwayat menjawab
bahwa ayat ini secara umum merupakan masalah yang mendapatkan takhshîsh
(pengecualian), dan tema ini bukanlah sesuatu yang baru di kalangan para
mufassir.
Ringkasnya, berbagai musibah dan kesulitan memiliki falsafah yang
khas, sebagaimana yang telah disiratkan dalam pembahasan tauhid dan
keadilan Ilahi. Berseminya potensi-potensi di bawah tekanan musibah,
peringatan akan masa mendatang, ujian Ilahi, sadar dari kelalaian dan
arogansi, dan penebus dosa adalah salah satu corak dari falsafah
tersebut.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di awal artikel ini bahwa ada
musibah yang bersifat sosial atau berdimensi kolektif. Hal ini merupakan
hasil dari dosa kolektif. Sebagaimana yang tertuang dalam ayat 41,
surat Ar-Rum (30), “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan
disebabkan karena perbuatan tangan manusia ….”
Jelas bahwa ayat ini berkenaan dengan sekelompok anak manusia yang
-lantaran perbuatan-perbuatan mereka sendiri- terjerembab ke dalam
musibah. Dan pada ayat 11, surat Ar-Ra’d (13) disebutkan, “Allah tidak
akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri yang mengubahnya.”
Ayat-ayat yang senada ini memberikan kesaksian bahwa antara
perbuatan-perbuatan manusia dan sistem penciptaan dan kehidupannya
memiliki hubungan yang berjalin erat, sehingga sekiranya ia menjejakkan
kaki berdasarkan kaidah fitrah dan hukum-hukum penciptaan, keberkahan
TUHAN akan meliputi kehidupannya. Dan apabila ia berbuat kerusakan,
niscaya kehidupannya juga akan mengalami kerusakan.
Bagaimana respon kita untuk menghadapi musibah? Yang perlu dipikirkan
bahwa PASRAH dan PASIF saat menghadapi musibah tidak selalu positif
bahkan bisa jadi justeru mendapat murka Tuhan. Sebab dalam musibah
sesungguhnya terkandung KAIDAH EDUKATIF DAN SEMANGAT KREATIF.
Tidak ada satu ayat pun di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan kita
pasrah diri dalam menghadapi setiap musibah dan tidak ada satu ayatpun
yang melarang kita untuk berusaha memecahkan segala kesulitan. Termasuk
justeru dilarangnya diri kita untuk menyerahkan jiwa raga kita kepada
para penguasa yang dengan semena-mena menginjak hak asasi manusia.
Begitulah, manusia haru mmecahkan persoalannya sendiri dan DILARANG
MENYERAH PADA MUSIBAH.
Sebagaimana kata Rasulullah SAW: “Seorang mukmin yang kuat,
lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah,
walaupun keduanya sama-sama baik (karena keimanannya). Berusaha keraslah
untuk mendapatkan yang bermanfaat kepadamu dan memohonlah pertolongan
kepada Allah serta jangan menjadi orang yang lemah. Jika suatu (musibah)
menimpamu, janganlah kau berkata, ‘Sekiranya aku berbuat demikian,
tentulah akan kudapatkan demikian dan demikian’, tetapi katakanlah,
‘Sudahlah ini takdir Allah, dan apa saja yang ia kehendaki pasti itulah
yang tejadi’. Sebab ucapan ‘seandainya dan seandainya’ itu dapat membuka
(pintu) setan” (H.R. Muslim).
Wong alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar