Dua bagian tulisan sebelumnya tentang Prof Damardjati Supadjar
mengangkat biografi sederhana serta Konsep Ketuhanannya (GERIMIS
KENANGAN DARI PENCARI YANG TERLUPAKAN dan MEMAHAMI DAMARDJATI SUPADJAR).
Artikel kali ini membahas tentang bagaimana agar Bangsa Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan. Namun sebelumnya akan dijelaskan terlebih dulu peran Sri Sultan di dunia.
Menurut Pak Damar, Kenapa Yogyakarta
disebut daerah istimewa karena peran kosmis dan universal Sultan
sebagai Kalifatullah. “Gelar Sultan tak ada duanya di dunia. Gelar itu
beresensi pada istimewanya hati, spiritualitas. Keistimewaan itu se-analog
dengan hati. Kalau hati baik, perbuatan dan keistimewaan juga akan
menjadi baik. Demikian pula bila laku atau jalannya hati-hati, hasilnya
juga akan baik dan selamat”, ujarnya.
Menurut Pak Damar, keraton
adalah lambang struktur manusia dengan segala konsep kesadaran sangkan
paraning dumadi, sedulur papat lima pancer, kiblat papat lima pancer
jalma limpat seprapat tamat. Makna Keraton menjadi sangat penting dan
melekat di hati rakyat, karena Sultan dan Keraton masih memiliki atau memenuhi kualitas seperti yang tergambarkan dalam sanepo itu yang bersifat spiritual dan bermakna sangat mendalam.
Sanepo
tersebut menyiratkan sebuah kearifan seorang pemimpin dan kesadaran
illahi yang tinggi. Namun, lanjut Pak Damar, konsep keratuan Raja Jawa
yang spiritual itu tidak dihayati secara sungguh-sungguh. “Kualitas kita
ini masih sebatas raga. Maka, masih berjalan di tempat. Kesadaran kita
masih kesadaran api,
yang dengan demikian adalah kesadaran iblis di mana manusia tak pernah
bisa sujud. Manusia itu terlena dengan aktifitas menjumlah dan
menghitung, yang sebenarnya tidak akan pernah mencapai bilangan
infinitum,”
Barangsiapa hendak njongko, njangkah, ujung jangka
harus lebih tajam dari sebilah jarum. Padahal, terangnya, ketajaman
jarum itu masih saja tumpul bila dilihat dengan mikroskop. Maka untuk
bisa benar benar tajam, harus dengan hati, yakni ning nong. Artinya
heningkan hati atau rasa. Dengan begitu, baru bisa mendapatkan bilangan
nol. Tajam sejatinya tajam dan seimbang. “Barangsiapa bisa membagi
bilangan nol, manusia baru akan bisa mbobot (mengandung) ruh, yakni
janji Illahi. Karena itu, saya menekankan pentingnya sebuah revolusi
spiritual, perang bratayudha. Perang besar antara raga dan jiwa.”
Inilah
yang seharusnya dilakukan oleh kita semua agar bisa lahir di dunia
secara baru. Buah dari mbobot dan meteng-nya ibu. Dua istilah yang dalam
bahasa Jawa berarti hamil atau mengandung. “Mbobot dalam bahasa Jawa
juga bisa diartikan sebagai bobot yang berarti berat atau beban.
Misalnya ketika perawan suci Maria
yang tak pernah bersentuhan dengan lelaki tiba-tiba hamil, sang
malaikat memberitahu, bahwa Maria bukannya sedang mbobot dalam
pengertian terbebani. Tapi, justru terangkat oleh kuasa ruh.
Ketika
seorang ibu hamil, pengertiannya bukan karena dihamili. Tapi, sang ibu
yang memang sedang mbobot ilmu amal suaminya. Harus dibuktikan Agar
bangsa Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan di berbagai bidang, Pak
Damar memiliki pemahaman yang menarik. Yaitu para cendekiawan harus
semakin gigih meneliti sebagai pertimbangan untuk membuat kebijakan.
“Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pahlawan, yang darahnya memang mulia, dan dengan mengingat tinta
atau kalam alim-ulama itu lebih mulia. Namun bila mulianya darah
syuhada pahlawan itu sudah terbukti, lebih mulianya kalam alim-ulama
masih harus dibuktikan. Kiranya tidak berlebihan, bila dikatakan
Indonesia berjalan di tempat.
Agenda
‘pemindahan kekuasaan’ sebagaimana tersurat dalam teks proklamasi itu
sedemikian dominan. Sehingga, agenda ‘dan lain-lain’ dalam teks
proklamasi yang merujuk pada ranah budaya, spiritualitas, pendidikan,
keadilan, kesejahteraan dan seterusnya, menjadi sekunder atau bahkan
terabaikan. Padahal, semua itu terikat pada kualitas ‘kesaksamaan’ dan
‘dalam tempo sesingkat-singkatnya’.
Semua itu kata kuncinya
adalah mutu, yang dalam filsafat Jawa harus berlaku bagi mereka yang
sudah tua dan menimang putu atau cucu. Menurut Pak Damar, putu dalam
bahasa Jawa juga disebut wayah, berkonotasi waktu. Kesemuanya itu tampak
jelas pada kasus aktual di Jogjakarta, yakni wacana keistimewaan
Jogjakarta yang terfokus pada kekuasaan kegubernuran.
Padahal,
hakikat Keistimewaan Jogjakarta itu terutama terletak pada agenda
ke-Khalifatullah-an (gelar Sultan Jogja), yang nilai raportnya istimewa
(nilai A plus atau 10). Bila Indonesia berjalan di tempat, itu karena
dunia juga berjalan di tempat. Dunia berjalan di tempat pada bahasa
Tongkat Nabi Musa, Kalimullah, a.s. berupa ekonomi, politik
dan teknologi. Padahal, setelah bahasa makluk yakni Tongkat Nabi Musa,
segera disusul oleh bahasa Khalik, yakni bahasa Ruh, yang
dipersonifikasikan oleh Kanjeng Nabi Isa, Ruhullah, a.s. Dunia jauh dari
memahami bahasa Ruh tersebut.
Apa lagi, bahasa terpuji, penghubung makluk dan Khalik, akhlak, Ahmad-Hamid-Mahmud-Muhammad,
sikap dan cara hidup Hamemayu Hayuningrat. Maka demi keistimewaan Qolbu
tubuh organik ke-Indonesia-an, kita harus menjemput bola. Bukan
menunggu datangnya Isa, Ruhullah dari langit. Tapi, membobot ulang
firman yang mem-badan, Jiwa Kang Kajawi.
Dalam pandangan hidup
Jawa, mbobot atau menimbang janji Kawula-Gusti itu jauh berbeda
konotasinya dengan meteng, yang berkonotasi main
main dengan weteng atau perut di kegelapan kesadaran peteng atau gelap,
sehingga akibatnya meteng atau hamil. “Titik 0 (nol) sebagai lambang
mbobot janji Kawulo-Gusti adalah inti Wuquf, yang bila paripurna segera
akan diikuti oleh laku Waqaf. Justru laku waqaf itu dicontohkan oleh
wanita yang mbobot, sedemikian rupa sehingga Surga itu terletak di
telapak kaki ke-Ibu-an.
Indonesia
yang ‘feminim’ menemukan landasan pada istilah ibu jari, ibukota, nomor
induk, dan menemukan landasan formalnya pada term Ummul Kitab, yang
disiplinnya disebut Ilmu Filsafat, induk segala ilmu,” katanya. Ketika
filsafat lahir di Ionia
Yunani, wacana mitologis terhapus oleh pencerahan akal budi. Sedemikian
rupa, sehingga Atlas yang semula nama Dewa, berubah menjadi Peta.
Nah,
bagaimana supaya dunia tidak berjalan di tempat dan seolah-olah hanya
mengolah fakta atau membaca fakta yang di tingkat SD untuk faktor, di SLTP untuk fungsi, di SLTA dan di Perguruan Tinggi untuk olah peran, yang sebenarnya semua itu hanya peran objek penderita?
Tak
lain, kata Pak Damar, “modernisme harus berganti menjadi olah peran
sebagai subjek pelaku. Koreksi makmum atas kesalahan Imam, yakni
ungkapan subhanallah bagi kaum
pria, menjadi tepukan paha bagi wanita. Itulah Filsafat Nareswari. Bila
orang laku njangka, maka ujung jangkanya harus tajam dan seimbang,
yakni titik 0 (nol). Dengan demikian, luas lingkarannya tak terhingga.
Setiap poin, pun menjadi syah sebagai pusat semesta. Biarkanlah rakyat
tidak ke mana-mana dan tetap ada di mana-mana. Vox Dei akan terungkap
melalui Vox Populi, dan berkembanglah tradisi penemuan, dan Ratu Adil
bukan omong kosong atau tinggal wacana. Tapi, ada karena ditegakkan bersama” ujarnya. (HABIS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar