Setiap kali pulang ke rumah orang tua di lereng Gunung Lawu,
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur saya biasanya menyempatkan diri
untuk mendaki sebuah perbukitan kecil dan menyempatkan diri duduk di
atas sebuah gua. Membebaskan batin untuk mengangkasa bersama semilir
angin yang berhembus sepoi-sepoi…
Tempat orang tua saya berdomisili ini adalah sebuah desa terpencil di
utara Gunung Lawu. Namanya Desa Kuniran, Kecamatan Sine yang berada di
Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Inilah desa paling akhir di ujung Kabupaten
yang berbatasan dengan Kabupaten Sragen, Jawa Tengah itu.
Untuk memasuki wilayah Desa Kuniran, Kecamatan Sine, ada beberapa
alternatif jalan. Ada yang harus melewati Kecamatan Jogorogo yang
relatif berkelok-kelok, ada yang landai yaitu yang melalui kawasan
Tunjungan dekat Sragen, ada pula yang melalui Kecamatan Mantingan. Bisa
pula melewati Alas Ketangga lantas terus ke selatan. Alas ini terkenal
bagi kalangan mistikus untuk mencari sandi-sandi rohani. Bagi kalangan
mistikus, Alas Ketangga adalah “Ibu” sementara Alas Purwo di Banyuwangi
adalah “ayah”. Konon, bila ingin melengkapi laku spiritual, bergurulah
ke “ayah dan ibu” ini, maka sang anak yaitu Anda akan “lengkap”
ngelmu-nya.
Bagi saya pribadi, tidak terlalu ribet untuk percaya dengan
kepercayaan mistik yang demikian itu. Untunglah, Tuhan memberikan saya
kebodohan untuk memahami bahasa-bahasa sandi yang demikian sehingga
tidak terlalu kebingungan untuk menjalani laku yang mereka percaya.
Barangkali pula, Tuhan akan menunjukkan cara dan jalan yang lain untuk
memahami ngelmu kasunyatan versi saya. Saya yakin, Tuhan Maha Memberi
Petunjuk setiap saya mengarahkan rasa dan menggeluti dunia batin-Nya
yang Maha Tidak Terjangkau.
Salah satu jalan yang ditunjukkan-Nya adalah jalan pulang ke rumah
orang tua. Biasanya saya pergunakan kesempatan yang langka tersebut
untuk mengembalikan dan membersihkan diri dari segala macam polusi
mental yang keruh akibat terlalu banyak bersinggungan dengan dunia
fisik. Semesta fisik, material, benda bila terlalu banyak berada di
dalam pikiran memang akan cenderung membuat pikiran dan batin kita
keruh. Pikiran dan batin tidak mampu untuk melihat dan merasakan
kehadiran hal-hal yang gaib, mistik, supranatual, adikodrati dan
transendental. Itulah sebabnya, saya merasa perlu untuk mengosongkan
mental, batin dan pikiran agar mampu mengakses energi Tuhan yang Maha
Hebat.
Perjalanan dari Surabaya menuju Ngawi saya simbolkan perjalanan
ruhani dari yang dangkal menuju yang tinggi. Surabaya berada di dataran
rendah lambat laun meninggi pelan-pelan, berproses setapak demi setapak
menggapai kedamaian semedi. Hingga akhirnya menuju lereng Lawu yang
berada di sekitar 2000 meter di atas permukaan laut.
Saat melewati kota-kota, saya mengibaratkan sebagai sebuah
titik-titik perjalanan ruhani yang harus disinggahi. Terkadang harus
istirahat hanya untuk menghela nafas, menunggu tarikan ruhani yang
menyedot energi kebenaran yang ada di mana-mana. Lantas kemudian, saya
harus bergegas-gegas untuk sebuah pengalaman spiritual baru. Perjalanan
baru yang harus saya tempuh, saya berusaha atasi dengan sabar ikhlas,
nrimo dan SUMARAH. Terkadang pula, saya harus jatuh tersungkur karena
sebuah sebab dimana saya harus menanggung kebodohan akibat pola pikir,
mindset dan keliru untuk berolah rasa. Namun kemudian bangkit lagi
dengan cara baru memandang kasunyatan ini.
Perjalanan dari yang lahir menuju yang batin adalah sebuah proses
yang unik. Bukan harus mengalahkan yang lahir demi kemenangan yang
batin, namun perjuangan yangh batin untuk menguasai yang lahir agar
tidak ngawur dan membabi buta cakil. Kecenderungan yang lahir ini
bergerak sembarangan karena tarikan yang lahir juga luar biasa besar.
Benda-benda di bumi ini memiliki kekuatan magnetik untuk menarik dan
menyedot benda-benda lain. Benda akan bersinggungan kemudian lengket dan
susah untuk dipisahkan. Bila tubuh jasmani yang benda ini berdekatan
dengan benda tubuh jasmani yang lain maka pasti akan terjadi saling
tarik menarik yang kuat. Begitu pula bila tubuh jasmani yang hanya benda
ini berdekatan dengan benda lain seperti cincin indah, kendaraan mewah
dan mahal, atau tubuh jasmani lain yang indah maka dipastikan terjadi
ketertarikan dan akhirnya lengket susah terpisah.
Bila ini terjadi dalam waktu sekian lama dan titik orientasi
kesadaran kita tidak beranjak dari semesta tarik menarik seperti ini,
saya beranggapan hidup kita sia-sia. Sebab harusnya kesadaran kita
terangkat semakin tinggi, bahkan harus mentransendensikan yang lahir
oleh yang batin. Oleh karenanya, usaha untuk memfokuskan dan lebih
menomorsatukan yang batin daripada yang lahir adalah sebuah perjuangan
berat yang harus diperjuangkan oleh manusia. Bukankah manusia adalah
titik tengah antara yang lahir dan batin? Malaikat, jin, dan beragam
variannya, kejujuran, kebijaksanaan, keikhlasan adalah serba batin.
Hewan, tumbuhan, batu-batu mulia, mobil, mall, logam mulia, uang,
eknonomi, politik, DPR, Presiden, Jabatan, Kekuasaan, Korupsi semuanya
serba lahir.
Tuhan adalah Dzat yang awal dan akhir, yang lahir dan yang batin.
Sama seperti manusia. Itu sebabnya manusia berderajat tertinggi karena
hanya dialah yang mampu “Menyamai Peran Tuhan”, ditunjuk menjadi WAKIL,
HAMBA, PELAYAN, KEKASIH-NYA. Luar biasanya manusia tidak terletak pada
akalnya-ciptanya (Ilmu Pengetahuan), namun juga rasa (spiritualitas,
agama, kepercayaan), juga Karsa (kelakuan untuk menjalani perannya).
Karena posisisnya yang sangat strategis itulah manusia harusnya terus
memfokuskan diri tanpa sedetikpun melupakan TUHAN. Kita harus
mengorientasikan hidup kita untuk selalu NGESTI TUNGGAL.
Banyak orang pintar namun kurang bermoral, banyak orang bermoral
namun kurang pintar. Banyak orang pintar, bermoral namun kurang
bijaksana. Justeru terkadang kebijaksanaan lahir dari orang yang tidak
pintar namun bermoral. Sesungguhnya, kebijaksanaan lahir dari sebuah
keutuhan bangunan kemanusiaan yang harusnya terus dicari karena
kebijaksanaan tidak pernah mengenal titik henti. Kebijaksanaan akan
terus berproses dan terus menjadi (BECOMING) tidak bisa hanya berada di
satu titik eksistensi (BEING) saja namun lebih ke memudar (PERISHING)
dan menyatu kembali dalam wujud yang berlainan. Untuk menggambarkan apa
dan bagaimana luas cakupan Kebijaksanaan ada baiknya saya mengutip
sebuah ilustrasi sederhana. Ilustrasi hanya ilustrasi yang hanya sekedar
cara untuk memahami bahwa kebijaksanaan lebih luas dari ilmu
pengetahuan.
Pada suatu saat ada dua orang murid, yang satu bernama Yan Juan,
murid yang paling pandai, yang satunya lagi tidak disebutkan namanya,
katanya murid yang paling tidak pandai. Dua-duanya berguru kepada Kong
Cu atau Konfusius yang oleh umat Konghucu disebut sebagai Nabi Kong Cu.
Kisahnya begini, Yan Juan, si murid pandai, dengan murid satunya lagi
sedang bercakap-cakap. Murid yang tidak pandai menantang murid yang
pandai. “Mari kita berlomba?” “Apa Maksudnya?” “Saya mengajukan
pertanyaan, 8 kali 3 berapa?” Yan Juan menjawab, “24.” “Salah, yang
betul 23.” “24 dong.” “Salah, kamu katanya pandai, ternyata jawabannya
24, yang betul 23.”
Berdebat di situ. Yang tidak pandai menantang, mari kita datang ke
guru. “Kalau saya yang salah, jawabanmu yang benar 24, saya akan
memotong leher saya sendiri. Kalau kamu yang benar ternyata jawabannya
24, topimu kamu lepas.” Topi melambangkan kecendekiawanan, kepandaian
seseorang waktu itu. Yan Juan tidak ingin seperti itu, karena khawatir
dan cemas, kalau ada apa-apa dengan temannya itu.
Singkat kata, karena tidak mencapai titik temu, datanglah ke Nabi
Kong Cu. Sampai di tempat itu Kong Cu berkata, “ada apa?” Dijelaskanlah
oleh dua-duanya tentang lomba itu. Dengan berdebar-debar dua-duanya
menunggu jawaban Kong Cu. “Yang benar berapa, Guru? 8 kali 3 itu
berapa?” “Yang benar ya 23.” Mendengar itu Yan Juan, murid yang paling
pandai kecewa sekali, marah, bahkan menuduh sang guru telah berbohong.
Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan mengancam akan
keluar dari perguruan itu dan tidak ingin menjadi muridnya.
Sang Guru Kong Cu tersenyum, “Silakan. Cuma begini Yan Juan, kamu
akan jalan barangkali ada hujan lebat, hujan besar, jangan deket-deket
dengan pohon yang besar, atau berlindung karena pohon itu akan tumbang.”
Keluar dia dari situ. beberapa saat hujan lebat, badai angin kencang.
Ketika mendekati pohon, ingat kembali pesan Kong Cu, dengan cepat dia
meninggalkan pohon itu dan betul saja dalam hitungan detik pohon tumbang
menghancurkan semua yang ada di sekitarnya.
Dia terhenyak, dia mengatakan Kong Cu bukan orang sembarangan. Ia
kembali, kepada Kong Cu memohon maaf atas kekasarannya dan kemudian
barangkali ada nasihat. Yan Juan dengarkan, “Kalau saya ditanya 8 kali 3
yang benar ya 24, tetapi bayangkan kalau saya mengatakan 24 waktu itu,
kamu akan menyesal seumur hidup, kamu akan merasa berdosa, karena ada
seorang temanmu yang nyawanya hilang karena kamu.” 8 kali 3 atau 24
dalam konteks ini adalah kebenaran kecil, kebenaran matematis. Kebenaran
besarnya adalah berapa nyawa orang yang harus diselamatkan.
Kisah di atas bisa diambil hikmah bahwa ilmu pengetahuan memang benar
mampu membuka cakrawala kenyataan secara eksak, pasti dan tidak
terbantahkan. Semua orang tahu itu. Tetapi, ilmu pengetahuan tidak mampu
untuk menangkap hakikat pergelaran alam semesta yang begitu kompleks
ini. Kebenaran kecil adalah kebenaran rasio, akal dan matematis.
Kebenaran besar adalah bagaimana kita mampu mengolah akal, rasa, hati
nurani, dan budi pekerti kita untuk berperilaku yang baik dan sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan untuk menggapai kebenaran dan
kebijaksanaan Tuhan.
Akhirnya, sampailah saya di rumah orang tua di lereng Gunung Lawu.
Setelah duduk bersimpuh di hadapan orang tua, bercengkrama sambil
meminum teh hangat dan menyedot rokok menikmati masa lalu, saya mendaki
sebuah perbukitan kecil di dekat rumah. Di atas sebuah gua, batin
mengangkasa bersama semilir angin yang berhembus sepoi, bergerak
terbang, sayapnya mengepak menuju entah ke mana …
wongalus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar