Sabtu (23/5) pagi ini saya begitu kaget membaca berita di Koran sebuah
surat kabar terkenal di Jawa Timur. Facebook, sebuah situs jejaring
sosial yang lagi ngetrend di semua kalangan di tanah air tiba-tiba
dinyatakan haram. Tidak tanggung-tanggung, pernyataan itu tidak
disampaikan oleh Cak Rakmat, Cak Iwil dan Cak Ali yang terbiasa
cangkrukan di pinggir alun-alun sambil melirik cewek-cewek berangkat
kerja. Atau disampaikan oleh Ki Bejo Sinting yang biasanya ngoceh sambil
telanjang di tengah bundaran Waru, di depan City of Tomorrow, Surabaya.
Tidak.
Pernyataan itu resmi itu dikeluarkan oleh Forum Musyawarah Pondok
Pesantren Putri Se Jawa Timur, Bahtsul Masail IX di Pondok Pesantren
Putri Hidayatul Mubtadi—At Lirboyo Kediri, 20-21 Mei yang lalu: dalam
pernyataan resminya forum menyepakati bahwa hukum facebook dinyatakan
HARAM. “Jika facebook digunakan untuk pendekatan dengan lawan jenis,
hukumnya haram,” begitu kata Masruhan, perumus bahtsul masail yang
diikuti 50 pondok pesantren se Jawa Timur tersebut.
Membaca
berita ini, terus terang saya kaget, hampir-hampir emosi saya naik ke
ubun ubun. Untunglah, sesaat kemudian Sang Kekasih, Tuhan Semesta Alam
memberikan petunjuk agar saya tetap tenang dan mengharapkan agar saya
menuliskan ketidaksetujuan saya terhadap pernyataan/fatwa tersebut di
blog saja. Alhamdulillah, Matur Nuwun Gusti Ingkang Welas Asih…
Begini.
Islam atau agama dan kepercayaan manapun yang itu sumbernya dari sumber
yang sama, pastilah tidak menghendaki hubungan lintas jenis maupun
sesama jenis secara tidak beraturan. Ada etika yang harus ditaati
manakala hubungan antar manusia terjadi. Entah itu etika berkomunikasi,
etika berpolitik, etika jual beli, dan etika-etika yang lain.
Siapa
yang melanggar etika, akan ada dampak yang harus ditanggung. Siapa yang
berada di jalur etika, akan aman. Ada sanksi bagi yang melanggar dan
sanksi itu bisa tertulis maupun ungkapan verbal dan bisa jadi sebuah
tindakan sosial. Tergantung kesepakatan yang dibikin secara sengaja atau
tidak antar individu di sebuah komunitas. Etika akan terus menerus
berkembang sesuai dengan kemajuan atau kemunduran peradaban. Sifatnya
yang plastis dan mudah mulur mungkret tersebut menjadikan etika berada
di taraf syariat saja. Perlu ditafsirkan terus disesuaikan dengan
semangat dekade, centurion, atu millenium-nya.
Yang jadi masalah
adalah bila satu komunitas tersebut kurang mampu membaca tanda-tanda
jaman seperti komunitas para Pengasuh Pondok Pesantren Se Jawa Timur
tersebut. Di jaman ini, di mana alat dan sarana komunikasi sudah
sedemikian hebat, tidak diperlukan lagi cara membentengi diri seperti di
era tahun 1960-an seperti era perang ideologi, apalagi dengan
fatwa-fatwa seperti itu. Saya khawatir justeru yang mengeluarkan fakta
itu nanti yang akan menjadi bahan cibiran dan tertawaan masyarakat. Dan
setelah dinyatakan oleh Forum Bahtsul Masail bahwa Facebook itu haram,
apakah nanti bisa efektif untuk meredam para pengakses internet agar
menjauhi situs jejaring sosial itu? Saya sangat mencintai
saudara-saudara yang kini menjadi pegiat pendidikan agama di
Pondok-Pondok Pesantren sehingga pada kesempatan kali ini ijinkan untuk
mengkritik dan memberikan masukan.
Saya pun tidak melihat adanya
segi negatif penggunaan facebook yang berlebihan. Mana sih yang bisa
menimbulkan dampak negatif dari facebook, friendster, plurk, atau situs
jejaring sosial yang lain? Yang jelas, bahwa sebagai sarana komunikasi
untuk saling mengenal antar manusia, jejaring sosial sungguh sangat
bermanfaat dan justeru akan mempererat ikatan silaturahmi. Jadi saya
menyimpulkan bahwa FACEBOOK ITU HALAL.
Saya malah beruntung di
era sekarang internet bisa merambah dengan cepat hingga perdesaan.
Internet adalah komunikasi dua arah, hal ini berbeda dengan televisi dan
radio yang hanya satu arah. Satu pihak mendiktekan ke pihak yang lain.
Televisi oleh karenanya justeru tidak lebih mendidik daripada internet.
Di internet, setiap pengakses masih ada upaya untuk browsing dan
surfing, mencari sesuai kebutuhan informasi. Di layar televisi yang
hanya ada sekitar sepuluh stasiun tersebut, kita tidak bisa menolak dan
mengelak oleh kehadiran iklan-iklan yang menghipnotis. Anda dan saya
hanya bisa pasif menerima tanpa mampu untuk membalas ataui memberikan
input. Benar-benar sebuah pembodohan bagi bangsa yang masih berusia muda
ini. Bila cara berpikir kita hitam-putih, saya lebih cenderung
mengatakan bahwa TELEVISI OLEH SEBAB ITU SANGAT LEBIH HARAM DARIPADA
FACEBOOK.
Internet adalah mimbar yang paling demokratis dan mampu
melewati bangsa dan negara yang lain tanpa batas. Mampu mencari teman
tanpa harus bingung diisibukkan oleh latarbelakang pekerjaan, status
sosial, pakaian, kaya miskin, dan lain-lain. SI SANTRI BISA
MENDEKONSTRUKSI DAN MENGGURI USTADZ-NYA YANG GAGAP TEKNOLOGI, SANG KYAI
JUGA BISA BELAJAR TENTANG TEKNOLOGI INFORMASI; BROWSING CHATTING,
BER-FACEBOOK RIA. BUKANKAH INTERNET ADALAH PERPUSTAKAN TERBESAR DAN
TERLENGKAP DI PLANET BUMI dan bukankah Islam adalah agama yang anti
kasta?
Konon, dilarangnya facebook disebabkan karena situs ini
bisa disalahgunakan untuk membicarakan hal-hal yang intim, tidak senonoh
dan anti agama. Hmm..Begitu sempitkah pikiran kita, yang menganggap
bahwa alat itu lebih berbahaya daripada penggunanya? Celurit itu
berbahaya bila dipegang untuk anak usia dua tahun, tapi bagi petani tebu
justeru mendatangkan manfat yang luar biasa lho. Justeru berkomunikasi
melalui dunia maya itu lebih baik daripada kumpul kebo atau pacaran
secara sembunyi-sembunyi. Di dunia maya, bukankah eksistensi manusia
hanya bisa dibayangkan saja yang juga berarti sebuah permainan simulasi
pikiran belaka? Di Facebook, bukankan setiap obrolan akan diketahui oleh
para pengakses lain sehingga terbuka kontrol publik secara otomatis?
Yang
harusnya dilakukan oleh kaum agamawan tidak terkecuali yang sekarang
menjadi pengasuh di pondok-pondok pesantren, atau di sekolah-sekolah
biarawan jaman sekarang adalah mentransfer contoh kepada para anak
didiknya agar memiliki mental yang kuat, hati nurani yang jernih serta
pikiran yang cemerlang. Mental yang mampu dengan sendirinya untuk
memfilter mana yang benar dan mana yang salah secara otodidak dan
otomatis. Pikiran yang bersemangat untuk mencari kebijaksanaan hingga
liang lahat. Inilah sejatinya fungsi lembaga-lembaga pendidikan berbasis
agama di Indonesia.
Saat ini, lembaga pendidikan termasuk yang
berbasis agama hanya menyibukkan dirinya dengan bagaimana agar anak
didiknya melahap sebanyak-banyaknya materi pendidikan yang kesemuanya
hanya untuk menuruti target yang telah ditetapkan pemerintah. Ini
diperparah lagi dengan komersialisasi di dunia pendidikan sehingga para
pengasuh lembaga pendidikan tidak terkecuali yang berbasis keagamaan
cenderung untuk mengutamakan pencapaian laba sebesar-besarnya saja.
Otak
hanya dijejali pengetahuan untuk peningkatan kognitif dan kemampuan
menganalisa, namun tidak dilatih untuk menyerap dan merangkum berbagai
mata pelajaran itu menjadi sebuah kesimpulan penghayatan hidup yang
selanjut-lanjutnya. Untuk kemudian anak didik memiliki kesiapan dan
kemandirian untuk mencari jati dirinya masing-masing yang sesuai dengan
budaya, sejarah dan semangat nasionalisme keindonesiaan yang luar biasa.
Pendidikan yang hanya berorientasi pada penyiapan Sumber Daya Manusia
agar mampu menemukan lapangan kerja yang sesuai berarti tidak memahami
akar filosofis kenapa pendidikan itu ada. Ini adalah tradisi kaum sofis
di era Yunani Kuno yang hanya menjual ilmu dengan kepandaian bersilat
lidah namun mengabaikan aspek moralitas dan religiusitas manusia.
Inilah
makna PENDIDIKAN AGAMA. Agama diciptakan untuk manusia agar dia
menemukan jalan hidupnya ke arah yang benar. Menerobos langit dan
menyelami rahasia samudera. Menjadikan manusi lebih manusiawi memandang
sesama, lebih membinatang dalam memandang binatang, dan membertuhankan
Tuhan Seru Sekalian Alam secara proporsional. Tidak hanya diajari
syariat, namun juga aspek-aspek mental yang lain sehingga akhirnya mampu
menemukan RUH AGAMA yaitu RUH KEHIDUPAN itu sendiri.
Ngapunten bila ada yang kurang berkenan.
Wong alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar