Entah sudah berapa kali sejak berdirinya Indonesia terjadi
kecelakaan. Seingat saya, terlalu sering. Faktor teknis dan human error
disebut yang paling sering jadi penyebab kecelakaan transportasi. Tuhan
harus bertanggungjawab?
Suatu
ketika Pesawat Garuda tujuan dari Jakarta ke Yogyakarta itu terbakar
hebat di landasan pacu Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Saat landing,
pesawat kehilangan kendali, tembok pembatas bandara ditabrak dan jebol,
yang berakhir dengan terbakarnya seluruh badan pesawat hingga jadi
arang.
Menteri Perhubungan saat itu Hatta Rajasa menuturkan dari total
penumpang 133 orang itu, ada sekitar 76 orang sudah bisa dievakuasi luka
ringan dan berat, sementara 57 penumpang tewas. Sementara awal kabin
selamat.
Ironinya, maskapai penerbangan burung besi bernomor penerbangan GA
200, ini adalah Garuda. Konon, selama ini ia adalah ikon penerbangan di
Indonesia, memiliki standar keselamatan yang bagus khususnya dibanding
dengan maskapai-maskapai penerbangan lainnya. Kalangan awam akan
membanding-bandingkan, bila Garuda saja bila celaka seperti itu,
bagaimana dengan yang lain?
Jenis pesawat Boeing 737-400, itu sesungguhnya juga masih tergolong
berumur muda, 8-9 tahun. Dengan usia yang belum terlalu tua untuk ukuran
pesawat itu, dan bila setiap saat dilakukan perawatan rutin dan
pergantian suku cadang yang wajar, sangat mungkin bila mesin dan
hardware yang lain kondisinya masih prima. Termasuk
software-softwarenya.
Pasca rentetan kecelakaan saat itu, Menhub mengaku pasrah nasibnya
sebagai menteri kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kepasrahan orang nomor satu di jajaran transportasi Indonesia ini
terkait berbagai kegetiran kecelakaan transportasi publik yang kian
hari kian bertambah.
Belum hilang duka akibat sederet kecelakaan transportasi. Mulai
tenggelamnya kapal KM Senopati, raibnya pesawat Adam Air, tergelincirnya
kereta api, terbakar dan tenggelamnya KM Levina, pesawat Garuda yang
hangus. Hal ini menunjukkan betapa buruknya manajemen transportasi di
republik ini.
Transportasi bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan.
Untuk menunjang perkembangan ekonomi yang mantap perlu dicapai
keseimbangan antara penyediaan dan permintaan jasa transportasi. Suatu
kota atau wilayah akan berkembang apabila tersedia secara memadai sarana
dan prasarana transportasi. Tanpa keduanya maka suatu daerah akan
terisolir dan tidak berkembang.
Paham materialisme dalam transportasi terlihat lebih mendominasi
dalam pengelolaan jasa transportasi publik. Prinsip ekonomi mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya telah
mencekoki cara berpikir para pengusaha negeri ini, termasuk pengusaha
jasa transportasi. Lihatlah bagaimana manajemen Adam Air yang tega tidak
mengasuransikan karyawan, pramugari dan pilotnya demi efisiensi
perusahaan. Bagaimana KM Levina dan Senopati yang memuat manusia dan
barang melebihi kapasitasnya tanpa mengindahkan keselamatan
penumpangnya.
Meskipun untung merupakan faktor penting dalam manajemen transportasi
untuk keberlanjutan pelayanannya, namun apabila faktor keamanan,
keselamatan, kecepatan dan kenyamanan menjadi terabaikan maka masyarakat
yang menjadi buntung. Menyerahkan sepenuhnya penyediaan jasa layanan
transportasi mengikuti mekanisme pasar, mengakibatkan hancurnya
sendi-sendi manajemen transportasi publik di negeri ini.
Oleh karena itu perlu dipertanyakan sejauhmana kinerja Departemen
Perhubungan RI beserta dinas-dinas jajarannya dalam mengemban amanah.
Meskipun pemerintah tidak secara langsung mengelola jasa layanan
transportasi, namun wewenang dan tanggung jawabnya melekat dalam
peningkatan kualitas layanan transportasi publik.
Berbagai peristiwa kecelakaan transportasi menandai melemahnya sistem
kendali pemerintah dalam mengontrol manajemen transportasi publik.
Akibatnya perusahaan dan para pelaku jasa layanan transportasi terkesan
bebas atau liar dengan mengabaikan standar operasionalnya. Dengan
demikian perlu dipertanyakan sejauhmana efektivitas regulasi-regulasi
yang ada dan komitmen pemerintah dalam meningkatkan kualitas
transportasi publik.
Kendali mutu dalam layanan jasa transportasi belum menjadi prioritas
dalam manajemen transportasi publik. Punishment terhadap berbagai
pelanggaran pun kurang transparan dan belum efektif dalam meningkatkan
kualitas layanan. Akibatnya perjalanan menggunakan transportasi publik
menjadi sebuah perjalanan yang mencemaskan dan tidak menyenangkan. Oleh
karena itu reformasi di tubuh Departemen Perhubungan mutlak dilakukan.
Selain perbaikan sistemik sistem transportasi, saya ingin menyasar
sesuatu yang lebih lembut dari itu, yaitu tentang sesuatu yang sangat
dekat dengan diri kita, yaitu sisi spiritual.
Rentetan bencana yang mendera Indonesia, menyeret lamunan kita pada
rasa geram; ketika kematian mengayau sewaktu-waktu di manapun, kapanpun,
dalam momen apapun kita terseret dalam kesimpulan bahwa ada sesuatu
yang salah keliru dan khilaf dengan negeri ini. Ada misteri besar yang
menjadi tanda tanya, namun susah untuk dijawab secapa simplistis.
Tuhankan penyebab bencana ini? Pasti tidak. Tuhan bukanlah dzat yang
Maha Kejam yang memerintahkan alam untuk membuat hukum yang kaku dan
rigid pula. Alam dan Tuhan sejatinya sangat manusiawi. Bukankah Tuhan
mendudukkan manusia pada derakat yang paling mulia di semesta?
Begitulah manusia. Kita terbiasa menyalahkan sesuatu pada hal yang ada di luar dirinya….
Alam dan Tuhan diciptakan oleh manusia. Bila manusia tidak ada, maka
alam dan Tuhan juga tidak ada. Bagaimana bisa ada, bila tidak ada yang
berpikir tentang alam dan Tuhan? Itu alasan, kenapa akhirnya Tuhan
menciptakan Adam beserta keturunannya. Yaitu agar Tuhan dikenal dan
“ada.” Logika ini juga berlaku terhadap bencana. Bencana ada karena
manusia ada. Manusialah yang meng’ada’kan bencana.
Josiah Royce (1844-1912), filsuf Idealisme Amerika yang menelurkan gagasan hukum keempat “Yang Ada” menngatakan semua
mengada karena manusia berkehendak. Kehendak akan menciptakan ide dan
ide akan menciptakan yang ada. Sehingga semua bencana dan kesalahan ini
adalah akibat dari manusia; yaitu perbuatannya.
Yang ada yang menjadi kenyataan buruk ini adalah hasil dari perbuatan
dan perilaku yang buruk. Perilaku berakar dari kehendak dan ide yang
buruk pula. Sebaliknya, Yang ada itu menjadi kenyataan yang baik bila
berasal dari perbuatan baik dan berasal dari kehendak serta ide yang
buruk jua. Ini berlaku tidak hanya pada level individual namun juga
sosial.
Kesadaran semacam ini sudah sangat umum dalam khazanah spiritualisme sepanjang masa….
Bila dianalisis lebih lanjut, terutama merujuk pada ilmu psikologi
kontemporer, maka 88 persen otak manusia dikuasai oleh alam bawah sadar.
Sementara hanya 12 persen saja otak manusia yang benar-benar dipakai
untuk berpikir rasional.
Dalam kehidupan seseorang alam bawah sadar atau sub-concious
mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan alam sadar atau
level conscious. Coba kita bayangkan kehidupan setiap harinya. Sebagian
besar kegiatan, seperti bernafas, tidur, makan, minum, dan seterusnya
kita lakukan tanpa harus berpikir lagi. Semua hal itu sudah menjadi
kebiasaan. Contoh lain, saat kita mengendarai mobil ke kantor apakah
kita memperhatikan berapa halte bus yang dilewati? Tentu tidak. Namun,
otak merekam semua hal itu tanpa disadari. Inilah yang dimaksud dengan
level sub-concious.
Karena yang paling besar otak kita bekerja di level sub-concious,
maka yang tercipta, yaitu “yang ada” pun juga sebagian besar dari level
ini. Pada titik inilah, kita bisa mengatakan bahwa bencana kini telah
menjadi menu keseharian bangsa Indonesia ini adalah buah karya kehendak,
pikiran dan perbuatan kita semua. Nah, sekarang bagaimana caranya
menghindar?
Sesuai dengan hukum keempat “Yang Ada” itu, diperlukan sebuah
katarsis, penyucian kehendak, pemrograman ulang terhadap alam bawah
sadar kita. Diperlukan keberanian bersama untuk mengubah secepatnya,
dari negative thingking menjadi positive thingking terhadap segala
sesuatu termasuk juga di level bawah sadarnya. Sebagaimana saran dari
seorang master hipnotis, bahwa cara termudah untuk menolak pengaruh
hypnosis adalah mensugestikan diri disertai dengan perbuatan seketika
yang langsung. “Satu,…dua,…tiga,… saya tidak bisa terpengaruh oleh
sugesti penghipnotis….”
Nah, apakah kita sekarang akan memelihara lingkungan psikologis yang
diliputi debu hitam yang kelam terhadap nasib bangsa kita yang penuh
bencana? “Katakan tidak dan beranilah untuk berpikir positif.” Media
massa juga memiliki pengaruh yang kuat untuk mempengaruhi dan memelihara
ritme kewarasan ini. Jangan malah sebaliknya, menularkan penyakit
pesimis dan akhirnya menghipnotis massa agar kalah, negatif serta
melahirkan bencana-bencana baru yang lebih dahsyat.
Wong Alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar