Kenapa manusia harus menunggu datangnya Petunjuk Tuhan?
Apakah Tuhan begitu kejam sehingga lama memberi petunjuk kepada manusia?
Sesungguhnya bukan Tuhan yang enggan memberi petunjuk, tapi manusia
sendiri yang sibuk menutupi hatinya sehingga petunjuk-Nya tidak datang.
Di setiap pergerakan alam semikro apapun, kita pasti menemukan jejak
yang merupakan tanda-tanda adanya Tuhan Yang Maha Pencipta. Kemampuan
kita membaca tanda-tanda yang sejatinya merupakan cahaya petunjuk-Nya
ini akan mengantarkan kepada pemahaman yang komprehensif terhadap apa
yang seharusnya dilakukan manusia untuk menjalani hidup.
Kita akan semakin banyak mendapati pelajaran yang mengajarkan
bagaimana agar kita bisa menangkap cahaya petunjuk Tuhan, yang selama
ini, sebenarnya sudah ada. Satu persoalan penting yang membuat kita
tidak mampu menangkap cahaya petunjuk tersebut dikarenakan yang kita
lakukan sehari-hari justeru menutup datangnya petunjuk. Salah satu
penutup tirai datangnya petunjuk adalah keakuan kita.
Untuk mampu menangkap cahaya petunjuk Tuhan, kita dituntut untuk
terus mencari “pengetahuan” dengan belajar, mendalami dan mengamalkan
makrifat. Menurut Abu Yazid Al-Busthami, “Makrifat itu berarti
mengetahui bahwa gerak dan diam manusia bergantung pada Tuhan”. Artinya,
dalam kehidupan ini, kita harus selalu menjadikanNya tujuan utama.
Mendalami makrifat membutuhkan persiapan yang tidak ringan. Meskipun
demikian, justru mereka yang mampu bertahan di “dunia” makrifat,
kemudian mengaksentuasikan dan mengamalkan dalam keseharian, akan
mendapatkan kebahagiaan lahir maupun batin.
Agar kita bisa menangkap cahaya petunjuk Tuhan tersebut, dibutuhkan
proses nglakoni yang panjang. Proses ini akan menjadikan manusia yang
dimabuk cinta kepada Allah ini makin tenggelam dalam-Nya. Tatkala proses
dikesampingkan, ia hanya mendapatkan kenikmatan yang profan dan hampa.
Pasalnya, proses tersebut akan membuatnya terbang menuju ruang bening:
sebuah ruang yang tak terbatasi oleh ruang dan waktu, dan di dalam
ruangan itu ia senantiasa bermesraan denganNya.
Berjalan di atas api lebih mudah bagi manusia secara kodrati daripada
mengikuti jalan makrifat. Mengamalkan satu makrifat berarti harus
mempelajari pengetahuan yang paripurna, meskipun ketika dibandingkan
dengan ilmu Tuhan itu adalah sebuah titik kecil yang tidak ada
apa-apanya. Kita harus memiliki pemahaman yang cukup untuk menyadari
bahwa ilmu kita sangat sedikit. Dengan kata lain, manusia mampu mencapai
ilmu manusia, bahkan kemanusiaan adalah hijab tertebal antara manusia
dan Tuhan. Dalam hal ini ada sebuah syair: “Ketidakmampuan memahami itu
adalah pemahaman. Tetapi, berhenti di jalan kesalehan adalah penyembahan
berhala”.
Melalui makrifat inilah kita akan selalu tersinari cahaya petunjuk
Tuhan. Kita pun akan mampu menyibak bayang-bayang semu yang selama ini
menutupi jiwa. Kita juga akan mampu mengatasi ketakutan yang
menggumpal-gumpal yang seringkali memerosotkan harga diri. Dengan
makrifat, kita akan terjaring dalam pelukanNya yang amat menggairahkan.
Cahaya petunjuk Tuhan pun terus menyinari langkah kita, sehingga kita
tidak tersesat.
Makrifat akan memberikan peneguhan kepada kita tentang kedirian juga
tentang adanya Tuhan: sebuah pengetahuan yang berdasarkan afirmasi atas
perbuatan-perbuatan Allah, yang juga berarti pengakuan bahwa Zat Yang
Mahatinggi dan Mahasuci adalah Pencipta manusia dan segala tindakan
mereka; yang menciptakan dunia dari ketiadaan kepada keberadaan dengan
perbuatan-Nya dan Pengatur kebaikan dan keburukan serta Pencipta segala
yang berguna dan berbahaya.
Berbagai fenomena kehidupan ini hendaknya menjadikan kita mampu untuk
melihat tanda-tanda keberadaan Yang Abadi. Makrifat berfungsi sebagai
bekal identifikasi jiwa manusia dan sebagai pendukung dalam rangka
mengeliminir sifat dan sikap yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Hidup yang disebabkan makrifat ini memang selalu membuat cinta
kepadaNya kian bersenyawa. Cahaya petunjuk itu mampu meluluhkan pelbagai
kekotoran yang menempeli pada diri. Dzun Nun Al-Mishri berkata,
“Makrifat pada hakekatnya adalah firman Allah tentang cahaya ruhani
kepada kalbu kita yang terdalam”, yakni Allah menyinari hati manusia dan
menjaganya dari ketercemaran sehingga semua makhluk tidak mempunyai
arti biarpun hanya sebiji sawi di dalam hatinya. Kontemplasi tentang
rahasia-rahasia Ilahi, lahir dan batin, tidak menguasainya. Dan, bila
Allah telah demikian padanya, setiap kejapannya menjadi tindakan
kontemplasi..
Barangsiapa yang mendapatkan makrifat ini, ia mendapatkan ledakan
kenikmatan: tak terlukis dan di luar rasa biasa. Abu Bakr Wasithi
berkata, “Barangsiapa yang diberkati dengan makrifat, (akan) terputus
dari segala sesuatu, bahkan dia sepenuhnya bisu”. Nabi Muhammad
bersabda, “Aku tidak mampu memuji-Mu dengan tepat”. Padahal, pada saat
memuji Allah, Nabi bersabda, “Akulah yang paling fasih di antara
orang-orang Arab dan bukan Arab.” Namun, ketika berbicara mengenai
Allah, beliau berkata, “Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan pujian
kepada-Mu. Aku berbicara kemudian bisu, dari kondisi spiritual kepada
keadaan non-spiritual. Engkaulah Engkau. Ucapanku ini entah dariku atau
dariMu. Jika aku berbicara dengan bahasaku, aku akan tertabiri oleh
pembicaraanku. Jika aku berbicara melaluiMu, kesempurnaanMu akan menjadi
cacat. Maka itu, aku tidak akan berbicara”
Demikianlah, kenikmatan tak terperi yang menunjam dalam jiwa
seseorang yang mendapatkan makrifat. Cahaya Tuhan akan selalu
ditangkupnya dalam dekapan cinta dan rindu yang membakar diri. Bias
cahaya ini juga akan menjadikan peraihnya mampu berjalan di garis
keseimbangan antara saleh sosial dan saleh ritual. Ganasnya medan
kehidupan, kerasnya tantangan hidup dan menderunya kejahatan tiada akan
menggoyahkan mereka yang beroleh makrifat. Gerak kehidupannya, bagi
penemu cahaya petunjuk Tuhan, merupakan kesan batin: untuk berduaan
denganNya.
Bagi mereka, susah senang, bahagia derita, kaya miskin, kehidupan dan kematian tidak berbeda….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar