Ini sepenggal fakta tentang perjuangan sekelompok kaum minoritas
agar diakui kepercayaannya. Jauh sebelum sebelum masuknya agama
monoteis, mereka telah bereksistensi.
Penganut
Parmalim jumlahnya relatif kecil. Saat ini di Kota Medan, ada sekitar
600 orang. Mereka terus gigih berjuang agar eksistensinya tidak hilang.
Ironi memang, 63 tahun lamanya Indonesia merdeka dan sudah selama itu
pula Undang-Undang Dasar menjamin kebebasan beragama; tapi sampai kini
mereka belum bisa menikmati kemerdekaan berkeyakinan.
Tapi,
semangat penganut Parmalim tidak padam. Berjuang bagi penganut Parmalim
bukan hal baru. Tercatat tokoh besar yang juga menjadi penganut Parmalim
adalah pahlawan nasional Raja Sisingamangaraja XII pejuang yang gigih
menentang agresi Kolonial.
Sebenarnya, Undang-undang No 23 Tahun
2006 telah memberikan kesempatan kepada Parmalim untuk dicatatkan
sebagai warga Negara melalui kantor catatan sipil, namun sayangnya
mereka tidak diberi kesempatan menuliskan identitas sebagai Parmalim di
Kartu Tanda Penduduk sehingga harus memilih beragama A, B, C, D atau E.
Nasib
penganut Parmalim juga semakin tersingkir. Masyarakat khususnya Batak
masih menganggap Parmalim aliran sesat. Bahkan, lembaga formal agama
masih memberikan stigma buruk kepada Parmalim seperti tidak sesuai
dengan jalan kebenaran Tuhan, menyembah berhala (paganisme) dan
sebagainya.
Parmalim adalah kepercayaan pertama orang Batak
sebelum masuknya agama lain ke kawasan Tapanuli. Pimpinan Parmalim saat
ini adalah RAJA MARNANGKOK NAIPOSPOS. Mereka tak punya rumah ibadah,
atau disebut dengan RUMAH PARSAKTIAN. Persembahyangan masih dilakukan di
rumah salah pimpinan Parmalim.
Pada 2005 lalu, sebetulnya
pengangut Parmalim berencana membangun Ruma Parsaktian di Jalan Air
Bersih, Ujung Medan. Tapi rumah itu gagal dibangun karena ada penolakan
dari warga sekitar.
Pembangunan Ruma Parsaktian tak ayal
terbengkalai. Rumah seluas dua kali lapangan bulu tangkis itu dikotori
alang-alang, di dalam dan luarnya. Tembok yang sempat dibangun sebagian
rubuh. Bahkan pembangunan gedung yang sebetulnya sudah 70 persen selesai
itu, sebagian atapnya sudah terlihat copot.
AJARAN-AJARAN PARMALIM.
Budaya
Batak sejak dulu sudah memiliki penanggalan istimewa. Hari dihitung
setiap bulan sebanyak 29 dan 30 hari yang dihitung atas dasar pengamatan
terhadap “parlangitan” siklus bulan dan bintang.
Masing-masing
hari beda sebutannya. Dimulai hari pertama yaitu… 1. Artia 2. Suma 3.
Anggara 4. Muda 5. Boraspati 6. Singkora 7. Samisara 8. Artia ni Aek 9.
Suma ni Mangadop 10.Anggara Sampulu 11. Muda ni mangadop dan seterusnya.
Bulan
terakhir setiap tahun dinamai HURUNG (KURUNG) dan hari ke 29 setiap
bulan juga disebut Hurung. Setiap hari “hurung” setiap bulannya biasanya
dihindari kegiatan yang diharapkan akan berkembang, misalnya menjemput
ternak untuk peliharaan, tabur benih, melakukan acara pengesahan
perkawinan dan sebagainya.
Mereka biasanya melakukan pendekatan
terhadap TUHAN atau disebut DEBATA MULAJADI NABOLON yang artinya
pencipta Manusia, Langit, Bumi dan segala isi alam semesta.
Pendekatan
terhadap Tuhan biasanya memuncak pada akhir bulan saat dilaksanakan
pensucian diri. Setiap bulannya pada hari “hurung” ini manusia akan
“ringkar” artinya keluar dari keterkungkungan.
Pada setiap akhir
tahun mendapat perhatian yang lebih khusus. Umumnya kegiatan secara
total dihentikan. Tidak melakukan tanam benih, tidak melakukan transaksi
dagang, tidak saling memberi dan menerima sesuatu barang untuk usaha
pengembangan. Tidak melakukan “parhataan” pembahasan atas semua aspek
kehidupan bersama. Mereka melakukan kegiatan sendiri, menyendiri dalam
kegiatan satu keluarga. Mereka membatasi diri dari hubungan duniawi. Hal
ini disebut “MARSOLAM DIRI”, membatasi diri dari hal keduniaan.
Tujuan
hidup manusia adalah menuju kepada TUHAN, “SUNDUNG NI HANGOLUAN” adalah
ujung dari tujuan kehidupan. Arti kehidupan digambarkan dengan “HARIARA
SUNDUNG DILANGIT” yang biasa diukirkan pada sisi rumah Batak, yang
mengartikan pohon kehidupan yang tajuknya semakin mengerucut kearah
“atas” sebagai simbol keberadaan.
Sejak tahun 1910, penganut
Parmalim memperingati “NAPAET”. Napaet arti harafiahnya adalah gabungan
dari tumbuhan yang mengandung pahit, asam, pedas, kelat dan asin.
Napaet
adalah simbol penderitaan para pengikut Parmalim. Napaet juga merupakan
upaya mereka menegakkan hukum kebenaran. Dua bagian pengertian khusus
Napaet.
Pertama , karena kesetiaannya mengikuti ajaran Parmalim
sehingga sering mengalami penindasan oleh orang-orang disekitarnya,
terfitnah dan dituding “sesat”. Kedua, adalah akibat dari kesalahannya
sendiri terhadap hukum yang telah ditegakkan parmalim, yang melakukan
tindakan yang dapat merusak keutuhan alam semesta dan tatanan
kemanusiaan. Ini disebut “dosa”.
Dosa harus dimohonkan
pengampunan kepada Tuhan pada akhir tahun, bulan dan hari hurung. Napaet
dijalani dengan berpuasa. Tidak mengkonsumsi makanan 24 jam sehingga
perilaku ini disebut “MARSOLAM DIRI”, atau membatasi diri dari tuntutan
duniawi.
Setelah puasa, hari berikutnya adalah melaksanakan
“RINGKAR” menerima anugerah Tuhan berupa ampunan. Pada hari itu penganut
Parmalim mengkonsumsi “MANGAN NATONGGI”. Yaitu makanan makanan yang
manis-manis secara bersama-sama untuk mengekspresikan kebahagiaan.
Hari
Raya Batak adalah PAMELEON BOLON. Yang artinya mengucap syukur Kepada
MULAJADI NABOLON atas anugrah sepenjang tahun yang diberikan. Yaitu pada
bulan “SIPAHAOPAT” saat penduduk sudah selesai memetik hasil panen.
Persembahan akbar disiapkan. Raja lah yang menetapkan hari raya
tersebut. Makanan yang dihidangkan di antaranya: Kerbau pilihan yang
memiliki empat pusar dan tanduk melingkar, gemuk dan tegar.
Pada
saat itu, tokoh agama menghaturkan rasa terima kasih kepada MULAJADI
NABOLON menghaturkan sembah, mengucap syukur atas anugrah sepenjang
tahun. Kaum parmalim menghantar sajian yang ditata diatas “LANGGATAN”
altar persembahan. Diiringi tarian berirama musik tradisi.
KESIMPULAN
Parmalim
adalah kepercayaan asli etnis Batak yang hingga kini masih eksis.
Kepercayaan asli etnis Batak itu, sangat dekat hubungannya dengan
tradisi dan simbol-simbol agama. Parmalim bisa jadi merupakan ajaran
yang usianya sudah ribuan tahun dan mengalami asimilasi dan difusi
dengan agama-agama lain.
Tercatat saat ini penganut kepercayaan
Parmalim memiliki 360 orang dukun yang berfungsi sebagai pembawa upacara
keagamaan. Dari 360 dukun itu, separuh di antaranya (180 orang)
menggunakan bacaan pembuka dan penutup mantra (tabas). Pembukaan mantra
di antaranya; “BINSUMILLAH DIRAKOMAN DIRAKOMIN” dan penutupnya “YASA
YASU YAUSA.”
Dalam sejarah disebutkan Raja pertama beretnis Batak
bernama Raja Makoeta atau Raja Manghuttal bergelar Sisingamangaraja I
yang berkuasa sekira tahun 1550 M. Kekuasaannya hingga ke Aceh dan
Minangkabau. Sisingamangaraja I merupakan kemenakan Raja Uti, penguasa
Barus. Raja Makoeta merupakan panglima Raja Uti ketika melawan Portugis
yang hendak menguasai Barus.
Sisingamangaraja I itu mendirikan
kerajaan baru berpusat di Bakkara. Antara Barus dan Bakkara terjadi
hubungan persahabatan yang erat. Itu ditandai dengan dibuatnya jalan
menghubungkan kedua kerajaan itu.
Dalam menjalankan
pemerintahannya Sisingamangaraja I berpedoman pada sejumlah pegangan
spiritual bernuansa monotheistis. Misalnya, menyucikan diri, tidak
memakan darah dan daging yang tidak disembelih (mate garam). Tidak
menenggak minuman yang memabukkan.
Ada beberapa alasan kenapa
Parmalim harus menghadapi tekanan keras yang membuat kepercayaan asli
itu kian meredup. Pertama, keyakinan monotheisme Parmalim sangat
bertolak belakang dengan keyakinan mayoritas etnis Batak modern.
Kedua,
kebijakan pemerintah dan agama-agama yang mendominasi di tanah air
tidak memberi ruang bagi eksistensi berbagai aliran kepercayaan yang
ada, menyebabkan Parmalim dan kepercayaan lainnya terpinggirkan.
Sebagai
sebuah warisan budaya spiritual masa lalu di negeri ini, Parmalim
seharusnya dipandang sama dengan aliran-aliran kepercayaan yang ada.
Berilah ruang lebih terbuka kepada penganut Parmalim menunjukkan
eksistensinya di tengah pergaulan antar pemeluk agama. Semestinya
toleransi beragama diberikan kepada semua keyakinan, agar tidak muncul
prasangka toleransi beragama digunakan untuk kepentingan sempit agama
tertentu saja.
Wong Alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar