Suku ini memegang teguh kehormatan leluhur, setia kawan, jujur dan
tenggang rasa. Kebersatuan mereka terhadap alam sekitar adalah hasil
dari kepercayaan terhadap dunia magis.
Siapapun tak bisa menyangkal kemampuan batin manusia Dayak sangat kuat. Ini
adalah hasil dari keakraban manusia Dayak dengan dirinya sendiri dan
lingkungannya dan diolah dengan laku perbuatan yang nyata: membela
harkat dan martabat kemanusiaan serta alam sekitarnya dengan cara diam dan simbolik.
Salah satu ketua adat dari Etnis Dayak pedalaman menceriterakan bagaimana dia
mendapatkan ilmu kesaktian sehingga dia memiliki sejumlah kelebihan
yang tidak dimiliki oleh manusia lain. Salah satu pesan penting dan
begitu mendalam adalah apa yang biasa didengar oleh para spiritualis di
Jawa yaitu etos yang disebut mesu budi, — dari Serat Wedatama. Yaitu
bermakna mengandalkan kekuatan batin dan tidak bertumpu pada kemegahan
dunia. Bahwa NILAI SESEMANUSIA TIDAK PERNAH DILIHAT DARI HARTA YANG DIA
MILIKI, TETAPI DARI APA YANG TELAH DIA PERBUAT UNTUK MANUSIA DAN ALAM
SEKITARNYA.
“Di zaman yang semakin bobrok seperti sekarang ini,
seharusnya jangan hanya mengejar dunia. Lihat saja semua tokoh besar
yang meninggal, tidak terkenal karena kendaraan mewah yang dia miliki,
rumah yang dia punya, tetapi karena karya yang telah dia buat selama
hidupnya,” katanya.
ok1
Salah satu adat yang diyakini
manusia Dayak adalah menganggap tabu untuk menebang pohon di sekitar
daerah itu, sehingga timbul berbagai istilah hutan adat atau hutan
keramat yang dikenal sejak zaman nenek moyang mereka. Sayangnya, masih
banyak oknum-oknum yang secara membabi buta melakukan penebangan hanya
untuk kepentingan pribadi tanpa memikirkan akibat yang timbul dari
perbuatannya tersebut.
Tidak sedikit dari wilayah hutan yang
diklaim masyarakat Dayak setempat sebagai hutan adat, dijadikan areal
penebangan hutan secara liar.
Lagi-lagi sangat disayangkan, masyarakat Dayak setempat harus gigit
jari terhadap para penebang yang sebenarnya telah melakukan pantangan
adat dan pantas menerima hukuman, baik hukum positif maupun adat. Mereka
tidak dapat berbuat banyak melihat hal itu. Selain menjadi penonton
yang baik mereka lebih banyak diam, karena keterbatasan pengetahuan.
Sementara aparat yang seharusnya menjadi pelindung bagi justeru
ikut-ikutan menjarah hasil penebangan liar tersebut. Padahal selama ini,
jika manusia Dayak memang harus melakukan penebangan kayu untuk membuka
lahan atau dijadikan bahan baku membuat rumah, sebelumnya melakukan
suatu upacara adat dengan berbagai sesaji.
Itu sebabnya saat
terjadi kerusakan hutan yang parah di Kalimantan, manusia Dayak sangat
gelisah dan tiada henti memprotes. Salah satu protes itu berbentuk
pernyataan bersama menolak perusakan hutan. Misalnya protes yang
dilancarkan Forum
Kampung Dayak Punan Hulu Kelay yang terdiri dari Kampung Long Suluy,
Long Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan Kampung Long
Beliu Kabupaten Berau. Mereka memberikan pernyataan:
Bahwa; hutan, air,
sungai, pohon buah, pohon madu, tanaman obat, binatang buruan, rotan,
emas dan sumber-sumber alam lainnya adalah tempat hidup dan sumber
kehidupan kami dan kami harus menjaganya untuk memastikan sumber-sumber
alam tersebut, akan
terus ada dan tersedia sebagai amanah pendahulu
kami dan untuk kehidupan kami sekarang dan kehidupan generasi penerus
kami pada masa yang akan datang, dengan ini kami sampaikan pernyataan
kami untuk semua pihak:
1. Menolak penambangan sumberdaya alam,
terutama tambang emas dengan menggunakan alat-alat mesin dan zat-zat
yang membahayakan, kecuali dilakukan secara tradisional (dulang) seperti
yang diajarkan oleh manusia tua kami secara turun-temurun.
2. Tidak
menerima segala bentuk perkebunan besar, yang membuka hutan secara luas
dan dapat menghabiskan sumberdaya alam sebagai tempat kami
menggantungkan hidup dan kehidupan.
3. Menolak segala bentuk kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh siapapun dan dalam bentuk apapun.
4.
Menolak segala bentuk perburuan binatang yang dilindungi baik yang
dilindungi hukum adat maupun dilindungi hukum positif, kecuali perburuan
bintang yang tidak dilindungi untuk kebutuhan hidup kami secara terbatas
5.
Meminta pada semua pihak untuk mengakui dan menghargai hak-hak
masyarakat secara adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
6. Meminta kepada semua masyarakat yang tinggal dikampung-kampung hulu sungai kelay, untuk secara bersama-sama menjaga dan mempertahankan seluruh sumber-sumber kehidupan kita.
ok3
Pernyataan ini adalah pesan serius
dari kalangan komunitas Dayak yang selama ini dipandang rendah, hina,
dibodoh-bodohkan dan dianggap sebagai “suku terasing” atau “primitif.”
Jika kita memahami budaya Dayak, maka kebangkitan untuk tidak diam
melihat kerusakan lingkungan ini bisa digambarkan bahwa naga yang
tinggal di lubuk sungai telah muncul ke permukaan dan
menghempas-hempaskan ekor raksasa perkasanya.
Dalam khasanah
Budaya Dayak, manusia harus meyakini adanya konsep hidup-mati: “RENGAN
TINGANG NYANAK JATA” (anak enggang, putera-puteri naga), yang
dilambangkan oleh enggang dan naga (jata) di seluruh pulau Kalimantan,
bukanlah manusia agresif. Tapi jika berkali-kali diagresi dalam berbagai
bentuk, mereka akan melakukan perlawanan “ISEN MULANG” yang artinya
“takkan pulang kalau tak menang”. Secara fisik terbaca pada “lahap”
(pekikan perang) atau “lawung bahandang” (ikat kepala merah) dan
“mangkok merah”.
Aksi Dayak ini hanya dilakukan jika mereka sampai pada batas
kesabaran, apabila bumi dan mereka terus dirusak, apabila “sumpah
potong rotan” dan upacara sejenis sudah dilakukan dan terus-menerus
dilanggar. Padahal sejatinya, manusia Dayak termasuk manusia pendiam dan
banyak bicara dengan bahasa isyarat, tatapan mata dan pengamatan serta
mencermati kata oleh adanya tradisi mantera yang kuat di kalangan
komunitas mereka. Mantera adalah satunya kata dan tindakan, keyakinan
pada makna kata.
Manusia Dayak mengenal zat tertinggi yang
menciptakan dunia dan segala isinya. Itu tersirat dalam adat,
mitos-mitos tentang kejadian alam semesta dan manusia yang
memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara
manusia dengan makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan sekitarnya.
Keyakinan terhadap zat tertinggi atau Tuhan itu tersurat dalam keyakinan
mereka terhadap adanya dunia batin (inner world)
yang memiliki kekuatan magis yang mengendalikan alam semesta. Berbagai
nama-nama pengetahuan batin manusia Dayak tersebut diantaranya:
Parang-maya, Pipit Berunai, Tumbak Gahan, Awoh, Kiwang, Kibang,
Pakihang, Panikam Jantung, dan Petak Malai, dan Pantak.
Dalam mitologinya, manusia Dayak mengenal empat tingkatan dewa-dewa sebagai kekuatan alam yang tinggi. Mereka adalah:
(1)
NEK PANITAH. Nek Panitah adalah dewa tertinggi. Ia hidup bersama
istrinya yang bernama Nek Duniang. Anak Nek Panitah dengan Ne’ Duniang
bernama Baruakng Kulub. Panitah = perintah.
(2) JUBATA. Jubata adalah roh-roh yang baik. Jumlah mereka banyak. Tiap sungai, gunung,
hutan, bukit mempunyai jubata. Yang terpenting adalah jubata dari bukit
bawakng. Apa’ Manto Ari adalah raja dari bukit bawakng.
(3)
KAMANG. Kamang adalah roh-roh leluhur dari orang dayak. Ia berpakaian
cawat dan kain kepala warna merah dan putih diputar bersama ( tangkulas
). Ini juga pakaian dari pengayau kalau mereka pulang dengan membawa
hasil. Kamang pandai melihat, mencium bau dan makanannya darah. Ini
terlihat dari upacara-upacara adat. Darah untuk kamang dan beras kuning
untuk jubata. Kamang tariu dan kamang 7 bersaudara. Kamang tariu adalah
adalah Kamang Nyado dan Kamang Lejak. Sedangkan kamang 7 bersaudara
adalah Bujakng Nyangko ( yang tertua ) tinggal dibukit samabue, Bujakng
Pabaras, Saikng Sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh, Buluh Layu’ dan
Kamang Bungsu ( dari Santulangan ). Bujakng Nyangko adalah kamang yang
baik. Sedangkan yang lain terkadang baik dan terkadang jahat. Saikng
sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh dan Buluh Layu’ adalah kamang yang
sering tidak senang dan menyebabkan pada waktu itu penyakit dan
kematian. Kamang Tariu dengan 7 bersaudara itu adalah pelindung dari
para pengayau.
(4) ANTU. Jumlah antu ( hantu ) banyak sekali.
Dalam arti tertentu, mereka kurang lebih jiwa orang mati. Antu selalu
menyebabkan penyakit pada manusia, binatang maupun tumbuhan. Antu cacar
menyebabkan penyakit pada manusia. Antu apat menyebabkan penyakit padi
dan antu serah menyebabkan banyak tikus makan padi diladang.
Kepercayaan pada 4 tingkat makhluk supranatural inilah yang melahirkan asas-asas kehidupan mereka, yakni:
(1)
PAMA. Pama artinya kekuatan yang membawa keuntungan. Pama hanya
dimiliki oleh orang besar dan juga pengayau yang berhasil. Mereka
mempunyai pama karena dianggap mereka mempunyai hubungan keatas, dengan
jubata. Kalau orang yang mempunyai pama meninggal, pama pindah kepantak
yang pada akhirnya ditempatkan dipadagi. Kata pama sendiri berasal dari
bahasa sanskrit = umpama, berarti gambaran. Pantak adalah gambaran
seseorang yang mempunyai pama pada waktu dia hidup.
(2) JIWA. Orang Dayak mengenal ada 7 jiwa. Yaitu :
ok5
NYAWA. Hanya manusia dan binatang yang mempunyai nyawa. Nyawa hilang waktu meninggal.
SUMANGAT.
Bukan hanya manusia mempunyai sumangat, tetapi juga binatang, tanaman
dan benda-benda. Ini dapat dilihat dari doa-doa persembahan yang selalu
diakhir dengan memanggil kembali sumangat manusia, padi, babi, ayam,
beras, emas, perak dan semua milik rumah. Sumangat dengan mudah keluar
dari tempatnya. Kalau terkejut, sesudah suatu perbuatan yang berbahaya
yang didampingi oleh ketakutan, sesudah memandikan anak kecil ( bahaya
sumangat anak hilang bersama dengan air ). Sesudah melahirkan juga
diadakan upacara nyaru’ sumangat. Cara sederhana untuk memanggil
sumangat kembali : kurrr….a’ sumangat. Mimpi disebabkan oleh sumangat,
karena itu sumangat berjalan. Kalau kita sebut nama seseorang,
sumangatnya pasti datang dengan kita dan kita akan bertemu dengan
semangat orang itu dalam mimpi. Tempat sumangat ada dalam badan.
Sumangat dikembalikan dalam badan oleh dukun baliatn lewat telinga kiri.
Sesudah manusia meninggal, sumangatnya tidak menjadi pidara, tetapi
pergi ke subayatn. Sumangat dari orang yang dibuatkan pantak pergi
ketempat pantak itu dan bergabung dengan kamang.
AYU. Tempat ayu
ada dibelakang badan. Kalau ayu pergi, ayu dikembalikan dipermulaan
punggung ( ka’ pungka’ balikakng ), dibawah leher. Ayu melindungi
manusia dari belakang. Penyakit yang disebabkan oleh
kehilangan/kepergian ayu jauh lebih parah daripada penyakit yang
disebebkan oleh kepergian sumangat. Dikatakan “ lapas ayu “ atau rongko’
(sakit ayu ). Sesudah orang meninggal, ayu menjadi pidara dan tetap
tinggal bersama dengan badan. Ada hubungan erat antara ayu dengan hantu.
Ayu juga disebut hantu.
SUKAT. Dalam doa selalu dikatakan “
sukat nang panyakng satingi diri’ “ artinya sukat yang panjang setinggi
kami sendiri. Pertama sukat menunjuk kepada satu bagian dari badan
manusia, mulai dari atas kepala lewat otak ke sumsum belakang. Penyakit
bisa disebabkan oleh kekurangan sukat.
BOHOL. Bohol bersifat
anatomis yakni garis perut dari tulang dada ke pusat atau lebih khusus
tempat dibawah tulang dada yang berdenyut. Kurang bohol atau bohol yang
tidak lurus adalah sala satu sebab penyakit. “ kakurangan sukat nang
manyak, kakurangan bohol nang jarakng “ demikian dukun menyebutkan sebab
penyakit pasiennya. Penyakit karena kekurangan bohol terutama dialami
oleh anak kecil. Dari wnaita yang sulit beranak dikatakan “ mereng bohol
anak “ artinya bohol anak bayi miring. Dukun baliatn pandai mencari
bohol yang hilang.
LEO BANGKULE. Leo Bangkule berarti jantung,
hati, paru-paru atau semua organ dalam perut manusia. Dalam doa, leo
bangkule sering diundang kembali. Bersama dengan leo bangkule selalu
dikatakan : tali nyawa atau tali danatn atau tali dane. Untuk manusia,
tali nyawa berarti saluran pencernaan.
NENET SANJADI. Nenet
Sanjadi disebut juga saluran pernafasan ( tali sengat ), permulaan dari
tali mulai dari karukok (kerongkongan ).
Manusia dayak memegang 5
prinsip kehidupan yang ditetapkan berdasarkan adat, yaitu: HIDUP HARUS
TOLONG MENOLONG, HARUS HIDUP MEMPERTAHANKAN KEAMANAN RAKYAT DAN DESA,
TIDAK BOLEH HIDUP TIPU-MENIPU, HARUS JUJUR DAN ADIL, DAN HARUS HIDUP
SETALI SEDARAH. Bagi pelanggar 5 sumpah adat ini, maka akan diberlakukan
Hukuman adat bagi manusia
Secara ringkas, Manusia Dayak yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya.
Yang berada di alam kehidupan nyata ialah makhluk tak hidup,
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan yang berada di alam
kehidupan maya antara lain: Ibalis, bunyi’an, antu, sumangat urang mati,
dan Jubata (Tuhan).
Kedua alam kehidupan ini dapat saling
pengaruh-mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kekuatan supranatural
yang dimiliki oleh manusia adalah salah satu contoh dari akibat tersebut
di atas. Untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan alam nyata dan
kehidupan alam maya, serta untuk menata seluruh aspek kehidupan
warganya, hubungan timbal-balik sesama warganya, hubungan warganya
dengan alam lingkungannya, serta penciptanya/Jubata agar tetap serasi
dan harmonis, nenek moyang para leluhur mereka telah menyusun secara
arif dan bijaksana ketentuan-ketentuan, aturan-aturan yang harus ditaati
dan dijadikan pengangan hidup bagi seluruh warganya dan warga
keturunannya dari generasi ke generasi sampai kini.
Manusia Dayak
dalam menjalani rutinitas kehidupannya tidak lepas dari praktek
religius tradisionalnya yang diwarisi oleh para leluhurnya, terutama
dalam interaksinya dengan alam lingkungannya. mereka percaya bahwa dalam
usaha mendapatkan rejeki, kesehatan dan keselamatan dalam kehidupan ini
tidak hanya bertumpu pada usaha kerja keras saja, tetapi juga pada
harapan adanya campur tangan dari “apa” yang mereka yakini.
Hal ini dapat dilihat dari doa dalam setiap acara ritual yang disampaikan oleh penyangohotn (imam):
“BUKOTNNYO
UNANG I-MANTABOK I-MAROMPOKNG ADAT ATURAN ANYIAN, IO INURUNAN AMPET I
NE’ UNTE’ I KAIMANTOTN, NE’ ANCINO I TANYUKNG BUNGO, NE’ SARUKNG I
SAMPURO, NE’ RAPEK I SAMPERO’, NE’ SAI I SABAKO’, NE’ RAMOTN I SAA’U,
NE’ RANYOH I GANTEKNG SIOKNG. ANGKOWOLAH ANGKENYO KAMI ANAK PARUCU’E
MAKE IO DAH TINGOR-KAMANINGOR, DAH PAHIYAK DAH GOEHOTN KAMI IHANE.”
Bukanlah
adat dan aturan ini hasil rekayasa semata-mata, namun dia diturunkan
oleh mereka (para leluhur) yang bernama Nek Unte’ yang tingggal di
kaimantotn, Nek Bancino (leluhur dari etnis cina) di Tanyukng Bungo, Nek
Sarukng di bukit sampuro, Nek Rapek di sungai Sapero’, Nek Sai di bukit
Sabako’, Nek Ramotn di bukit saba’u Nek Ranyoh di Gantekng Siokng.
Karena itu generasinya menggunakannya yang diwarisi dari generasi yang
menjadi tuntutan kehidupan kami.
Dalam adat terkandung segala
aturan, norma dan etika yang mengatur korelasi manusia dengan manusia,
manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia dalam sistem kehidupan ini.
Ajaran tentang adat (etika) lingkungan hidup yang mengatur korelasi
antara manusia dengan alam ini didasarkan pada pandangan dunia yang
termuat dalam mitos-mitosnya.
Manusia Dayak memahami alam semesta
(kosmos) ini sebagai suatu bentuk kehidupan bersama antara manusia dan
yang non-manusia, diluar alam para Jubato (dewa) dan Awo Pamo (arwah
para leluhur) yang berada di Subayotn. Bentuk kehidupan itu merupakan
suatu sistem yang unsur-unsurnya terdiri dari unsur alam manusia dan
alam non-manusia yang saling berkolerasi. Sistem kehidupan itu sendiri
merupakan lingkungan hidup manusia dimana manusia hidup dan berkolerasi
secara harmonis dan seimbang dengan unsur-unsur lain yang bukan manusia.
Hubungan yang harmonis dan seimbang dalam sistem kehidupan dibangun
oleh manusia melalui praktik-praktik religi.
Manusia sebagai
bagian dari alam memiliki unsur-unsur alam, misalnya, udara, air, dan
zat lainnya dalam dirinya. Manusia merupakan mikrokosmos (bagian dari
dalam sistem alam semesta (kosmos) ini dan setiap unsur dalam sistem itu
masing-masing memiliki nilai dan fungsinya yang saling mendukung dalam
satu kesatuan yang harmonis dan seimbang.
Alam berkomunikasi
dengan manusia antara lain melalui tanda-tanda yang diberikan.
Sebaliknya bentuk komunikasi manusia dengan alam melalui praksis
(tindakan nyata dan disadari) dan praktik religiusnya. Beberapa contoh
bentuk pemahaman manusia sebagai bagian dari alam yang berkolerasi dalam
misalnya, kematian dipahami sebagai peristiwa kembalinya dan menyatunya
jasad manusia dengan alam dunia (taino) serta sengat atau ayu (jiwa)
dengan Subayotn.
Saat manusia akan meninggalkan dunia, alam
mengkomunikasikannya pada mnusia berupa tanda dalam bentuk suara dari
sejenis mahluk alam yang disebut Tirantokng. Suara itu menyerupai bunyi
sebuah parang besar beradu dengan alas kayu terjadi pada malam hari
antara pukul 10.00 hingga 12.00. Tanda ini diartikan bahwa hantu telah
memotong-motong badan orang itu hingga meninggal. Orang segera tahu
bahwa dalam beberapa hari akan ada yang meninggal dunia di desanya atau
desa sekitarnya.
Saat orang itu akan menghembuskan nafasnya yang
terakhir (NGOOH), pada malam sebelumnya suara riuh rendah dari mahluk
malam di rimba terdengar tidak seperti biasanya. Peristiwa ini bisa
dialami oleh mereka yang menunggu durian atau berburu pada malam hari
(NERENG). Orang menafsirkannya bahwa alam bersorak-sorai menyambut
kedatangan manusia yang akan menyatu kembali dengannya. Tidak ada
kebiasaan membersihkan dan menyembahyangi dalam kehidupanmasyarakat
Dayak. Pohon-pohon dan semak dibiarkan tumbuh lebat disekitar kuburan.
Masyarakat takut untuk membersihkannya karena arwah manusia yang dikubur
itu akan marah dan menyakitinya.
Jenasah itu dikubur tanpa
nisan. Rangkaian peristiwa kematian yang dialami dalam kehidupannya
membuat masyarakat Dayak berkesimpulan bahwa MANUSIA ITU BETUL-BETUL
TELAH KEMBALI DAN MENYATU DENGAN ALAM KARENA DIA SESUNGGUHNYA BERASAL
DARI ALAM. MANUSIA YANG SUDAH MOMO’ (MENINGGAL DUNIA) ITU SESUNGGUHNYA
TELAH KEMBALI KE BINUO (TEMPAT) ASALNYA.
Selain menjalin
keakraban kepada makhluk lain yang tidak terlihat, Manusia juga perlu
menjalin kerjasama erat dengan binatang sebagai sesama adalah mahluk
ciptaan Tuhan. Oleh karena itu ada salah satu suku dayak yaitu Suku
Dayak Ngaju menempatkan binatang pada tempat yang istimewa, antara lain:
a. Burung Tingang merupakan lambang kemasyuran dan keagungan.
b.
Burung Antang (Elang) merupakan lambang keberanian, kecerdikan serta
kemampuan memberikan petunjuk peruntungan baik buruk. Dalam acara ritual
“menenung” atau acara “menajah antang” untuk mengetahui “Dahiang-Baya”,
maka burung Antang digunakan sebagai mediator.
c. Burung Bakaka
diyakini memberikan petunjuk bagi pencari ikan apakah memperoleh banyak
ikan atau tidak. Demikian juga burung perintis.
d. Burung Kalajajau/
Kajajau (Murai) dianggap sebagai burung milik dewa. Memperlakukan burung
Kalajajau/ Kajajau (Murai) dengan semena-mena dapat membawa malapetaka.
e. Burung Tabalului, Kangkamiak dan kulang-kulit sebagai kelompok burung hantu diyakini sebagai burung iblis.
f. Burung Bubut mampu memberikan informasi bahwa tidak alam lagi permukaan air sungai akan meluap atau terjadi banjir.
g. Tambun (ular besar / ular naga) melambangkan kearifan, kebijakan sarana, dan kekuatan.
h. Buaya sering dianggap sebagai penjelma mahluk alam bawah (jata).
i. Angui (Bunglon) diyakini sebagai perwujudan saudara Ranying Hatala Langit yang bungsu.
Meskipun
binatang adalah mahluk ciptaan Tuhan dengan derajad yang lebih rendah
dari pada manusia, namun manusia harus tetap menjaga keseimbangan
populasinya agar supaya keseimbangan alam tetap terpelihara. Dalam
kehidupan Masyarakat Dayak, adat melarang siapapun menganiaya binatang.
Sebaliknya adat juga melarang manusia mempunyai hubungan yang lebih
dengan binatang atau disetubuhi oleh binatang. Apabila hal itu terjadi
maka orang tersebut merupakan manusia terkutuk.
Demikian sedikit
uraian tentang dunia mistik Budaya Dayak. Tulisan ini hanya sebagai
pintu masuk yang perlu ditindaklanjuti dengan berbagai penelitian
mengingat suku Dayak tersebar di hampir seluruh Pulau Kalimantan yang
luas. Kekayaan budaya spiritual dan mistik di tanah air kita memang luar
biasa dan perlu terus dilestarikan, dilindungi dan dikembangkan.
Wong Alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar