Pada bagian yang lalu, saya menulis di blog ini tentang setetes kenangan
dari seorang guru yang pernah menjadi bagian dari hidup saya, yaitu
Prof Dr Damardjati Supadjar, Guru Besar Filsafat UGM. (Baca: GERIMIS
KENANGAN DARI PENCARI YANG TERLUPAKAN). Agar semakin jelas tentang
sosok beliau, marilah kita telusuri secara lebih mendalam apa dan siapa
dia. Pak Damar—begitu kami memanggil– sering mengutip pernyataan filsuf
dari Amerika Serikat, Alfred North Whitehead. Ternyata, disertasi S-3
Pak Damar adalah tentang pemikiran-pemikiran Whitehead.
Pada
kesempatan kali ini, saya ingin menyampaikan salah satu hal yang sering
dikutip Pak Damar tentang titik. Kata Whitehead, Tuhan bisa dinalar
misalnya dengan mengandaikan adanya titik bergantung pada garis, garis
pada bidang, bidang pada ruang dan seterusnya.
Alfred North
Whitehead berkata, bahwa 2000 tahun yang akan datang, kehidupan manusia
akan dipengaruhi oleh ilmu pasti yang akhirnya semoga saja bisa semakin
mengenal tentang Tuhan. Dari pemikiran Whitehead, kita bisa mendapatkan
penjelasan tentang Tuhan dari yang hanya sekedar mistik menjadi lebih
rasional.
Dalam kehidupan ini menurut Alfred, ada dua kutub yang
saling berhubungan antara yang satu dan yang lainnya. Yaitu kutub nilai
dan kutub fakta.
Kutub nilai adalah sesuatu yang selalu aktual
tetapi tidak mengalami pemudaran dan tidak mengalami masa lampau. Dia
sifatnya abadi. Sedangkan kutub fakta adalah sesuatu yang mengalami
aktual dan mengalami pemudaran. Dia sifatnya tidak abadi, berarti dia
mengalami masa lampau.
Disinilah yang oleh Whitehead disebut sebagai
becoming and perishing (menjadi dan memudar). Kutub nilai antara lain
indah, benar, baik dan lain-lain. Dialah yang selalu aktual dan tidak
akan memudar sampai kapanpun. Nilai berada dalam batin.
Sedangkan
segala yang tergelar didunia ini adalah fakta (lahir). Karena sifatnya
yang lahir itulah dia mengalami aktual dan pemudaran. Kita mengambil
contoh type-type merk sepeda motor, misalnya honda. Pada jamannya Astrea
800 adalah merk yang aktual dan indah. Tetapi setelah dibuatnya astrea
prima, astrea 800 menjadi sesuatu yang lampau dan tidak lagi aktual.
Demikian pula setelah astrea grand keluar, maka astrea prima menjadi
barang yang lampau dan memudar. Mungkin saat jamannya astrea grand
adalah barang dengan desain yang indah dan sempurna, tetapi tidak
setelah ada astrea supra. Begitulah seterusnya.
Kita kembali ke
kutub nilai dan fakta. Atau biar lebih mudah dalam pengucapan kita
kembali ke lahir dan batin. Karena sifat nilai yang kekal dan abadi
itulah maka pada hakekatnya manusia membutuhkan. Dan karena butuh maka
manusia menyebutnya sebagai Tuhan. Coba kita sebut nama Tuhan dalam hati
(maha benar, maha indah …).
Jika lahir dan batin dihubungkan
maka akan terdapat sebuah garis. Dan disitulah sebuah titik berada. Dan
manusia menjadi titik tengahnya. Sebagai titik yang berada di tengah
maka manusia bisa memilih akan ke mana arah tuju hidupnya.
Misalnya
sebagai contoh, Antara Banyuwangi (jawa timur/anggaplah lahir) sampai
merak(Banten/batin) adalah sebuah garis, kita anggap yogyakarta adalah
tengahnya. Dan diyogyalah terdapat titik itu berada.
Jika manusia
memilih untuk berjalan ke arah merak(batin), maka sesungguhnya dia
menuju ke sesuatu yang abadi yaitu Tuhan. Dan bila dia menuju ke arah
banyuwangi (lahir) maka dia menuju ke arah yang materialistik. Semakin
dia dekat dengan banyuwangi (lahir) maka dia semakin jauh dari Tuhan.
Sampai dia sangat dekat dan sampai banyuwangi (lahir) dia semakin jauh
dari Tuhan dan semakin tidak mengenal Tuhan. Dan dari sinilah atheis
bermula. “Atheis bermula dari materialisme.” Kata Whitehead
Jadi
pergerakan kita ke arah lahir, adalah pergerakan kita menjauhi Tuhan.
Dan semakin kita tidak mengenal Tuhan. Dan bila yang kita pilih adalah
ke arah Tuhan, agamalah yang lebih dalam mengajarkan tentang nilai-nilai
(Tuhan). Pergerakan kita menjauhi Tuhan akan membuat kemurkaan Tuhan.
“Kalau
seseorang awam yang membuat pernyataan mengenai tembok rumahnya, maka
pada umumnya pernyataanya semata-mata lahiriah, misalnya bahwa tembok
putih. Sementara sang pemborong akan membuat pernyataan yang lebih
“batini”, misalnya “tembok itu anti gempa”
“Atas dasar
keilmuwannya yang memahami penuh konstruksi kedalaman si tembok. Namun
insinyur pengendali project memiliki “sesuatu” yang lebih “batini”,
yakni semacam “kekuasaan” menetapkan bahwa suatu gedung yang anti gempa,
bisa jadi tidak anti project dan karenanya bisa runtuh oleh suatu
project. Demikianlah maka Tuhan itu maha batin, menguasai segala,
mengendalikan semua saja,” kata pak Damar ***
WONG ALUS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar