Anggaplah dirimu sebagai buku yang terbuka, bisa
dibaca, dikritik dan sekaligus dicerca. Siapa yang menganggap dirinya
buku yang tertutup, bersiap-siaplah untuk ditutupi debu dan dimakan kutu. Inilah sejarah sebuah kursi.
Semasa
kuliah tahun 1990-1996, saya memiliki sebuah kursi yang saya gunakan
sekaligus untuk tempat tidur. Kursi itu terbuat dari kayu bersandar,
panjangnya tanggung muat untuk dua setengah orang. Saya menambahkan
empat batang kayu berdiri memanjang ke atas dan atasnya dibentuk
menyerupai rangka atap rumah. Di atas rangka “atap” kursi kayu tersebut,
saya letakkan begitu saja kardus-kardus bekas. Saya namakan singgasana
saya itu dengan DHAMPAR KENCANA.
Saya tinggal di sebuah gubuk. Gubuk itu berdinding setengah bata, setengahnya lagi dari anyaman bambu.
Gubuk itu terletak di sebidang tanah di belakang sebuah bengkel di
kawasan Pasar Telo, Bantul, Yogyakarta. Nama bengkel itu BENGKEL LAS
MBAH LANGUT.
Yang unik dari gubuk kenangan tersebut, di satu
dindingnya ada pohon asem yang masih hidup menjulang ke atas. Tingginya
sekitar sepuluh meter. Jadi, gubuk saya itu menempel di pohon asem.
Lebar gubuk sekitar 2 kali 2,5 meter. Isi gubuk sebagai berikut: Satu
kursi/tempat tidur DHAMPAR KENCANA tadi, meja besi, sedikit buku, mesin
ketik manual karatan. Di DHAMPAR KENCANA tadi saya letakkan bantal,
kloso, dan sebuah radio kecil AM.
Gubuk
itu terlihat kotor. Bukan karena kemalasan saya membersihkannya, tapi
karena hembusan debu setiap saat dari sebidang tanah di depan gubuk
tersebut. Debu dengan leluasa masuk melalui rongga-rongga anyaman bambu
dinding kemudian menempel di mana-mana. Di meja, di lantai, dan juga di
baju-baju yang saya gantung di sebuah paku. Ada satu tempat yang volume
debunya paling minim yaitu di dalam DHAMPAR KENCANA tadi.
Itu
karena kursi/tempat tidur itu saya bungkus dengan kain lurik ditambah
dengan jas hujan yang sudah tidak terpakai. Kenapa harus direkayasa
sedemikian rupa sehingga bagian dalamnya tidak terlihat konon ada
“sejarahnya.” Suatu malam saat nyenyak tidur, tiba-tiba sebuah tikus
jatuh dari atap dan mendarat persis di kepala. Tentu saja kaget campur
jengkel menjadi satu. Keesokan harinya, ide muncul untuk membungkus kursi kesayangan tersebut.
Setiap
hari, usai kuliah saya bekerja di bengkel las tersebut. Menggergaji,
mengebor, membengkokkan, meluruskan lonjoran besi-besi dan mengelasnya
untuk dibentuk sedemikian rupa sesuai pesanan: teralis, pagar, dan
lainnya. Selain itu, terkadang saya juga diminta untuk menagih piutang
ke para pelanggan. Dari hasil bekerja, uang saya gunakan untuk menambah
biaya kuliah yang saat itu SPP per semester mencapai Rp 105.000,-.
Itulah
ruang hidup ”LIEBENSRAUM” saat berjuang di Jogja sekitar sepuluh tahun.
Liku-liku hidup terlalu padat saya alami di kota Gudeg yang penuh
kenangan tersebut. Itu adalah satu kurun waktu dimana proses pencarian
jati diri mencapai tahap penemuan batu pijakan (milestone) untuk melangkah.
Melangkah kemana? Saya jawab melangkah kemana-mana, sebab setelah masa kuliah itu saya terus berpetualang –istilah ini lebih tepat daripada bekerja— hingga sekarang ini.
DHAMPAR
KENCANA milik saya yang ada atap dari kardus-kardus bekas yang
dibungkus dengan jas hujan yang sudah robek-robek serta kain lurik yang
sudah amoh itu memiliki makna simbolik: SIMBOL MASIH BANYAKNYA RAKYAT
MISKIN YANG HARUS SEGERA DIUBAH NASIBNYA.
SEMOGA INDONESIA MENJADI BANGSA YANG LEBIH ADIL, MAKMUR, SEJAHTERA SECEPATNYA.
Wong alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar