Namanya Solekhudin. Usianya sekitar 33-an. Dia ganteng dan tubuhnya
atletis, ringan senyum dan tangan. Tidak suka belanja dan membawa uang.
Pikiran-pikirannya berat, idealis dan mbulet. Bapaknya pelukis almarhum.
Sejak belia suka memberontak dan meronta. Jalanan baginya adalah ruang
berekspresi menentang ketidakadilan. Jauh sebelum maraknya demo-demo di
Sidoarjo, dia sudah terlebih dulu hadir dengan tuntutan sederhana; apa
yang menjadi hak si kecil maka berikanlah.
Bagi para aktivis,
Khud adalah legenda hidup yang mudah dijumpai di saat-saat yang genting.
Saat demo menentang korupsi, kolusi dan nepotisme di lembaga-lembaga
pemerintahan, misalnya, dengan mudah kita melihat pria bersahaja ini memegang poster.
Dia tidak begitu fasih berorasi, juga tidak menjadi macan podium. Tapi,
buat para aktivis yang membutuhkan pengkayaan lahan untuk mengembangkan
pikiran-pikiran liar yang humanis, dia adalah “dukun”nya.
“Dukun”
ini memiliki mantera dengan perangkat yang apa adanya, tapi mampu
memindahkan mimpi para aktivis ke tempat yang benar. Sehingga mereka
tidak salah arah dan kebablasan. Dia mampu pula menjadikan panggung demo
menjadi altar magis. Bila yang lain sibuk mencari kata yang pas untuk
meneriakkan kata agar didengar orang, Khud cenderung diam diri; menjadi arsitek batin yang sibuk bermeditasi.
Tapi Khud adalah korban lumpur
Porong. Rumah dan tanahnya di Jatirejo seluas 5000 meter persegi kini
tinggal kenangan. Suatu kali, kata Khud, ia rindu kampung halaman yang
kini dilumeri lumpur panas. Inilah kerinduan seorang pemuda desa
terhadap ruang yang pernah membesarkan eksistensinya. Diciptakanlah
perahu dari empat tong yang
dilas berjajar, lalu dia mendayung bersama teman. Rumahnya yang
berjarak sekitar 100 meter dari bibir tanggul ditempuh selama delapan
jam. “Capek karena perahu tidak bisa bergerak, lumpurnya terlalu dalam,”
cerita awal Khud.
Mengenai Jatirejo yang kini hilang dari peta
itu, Khud memiliki catatan menarik. Di desa yang awalnya dilupakan orang
ini, ada pelatuk yang tersembunyi. Di dalamnya tersimpan puluhan ton
bahan peledak yang setiap saat siap melumat Sidoarjo. Konon, di sisi
utara desa berdiri kokoh pabrik minuman keras terbesar. Pemodalnya kuat
dan banyak. Ada yang dari lingkungan Cendana, Jakarta
hingga konglomerat dan birokrat asal Papua. Di sini pula tempat kos
para begenggek yang lelah menjajakan diri. Di sudut desa yang lain,
pondok pesantren dan masjid sibuk mendaras ayat-ayat Tuhan.
Pabrik
miras itu pula yang menghidupi ratusan jiwa warga Jatirejo. Sehingga
saat ada ribut-ribut dari kalangan agamawan yang merekomendasi untuk
menutup pabrik ini, warga justeru membelanya. Di mata kaum
agamawan yang hitam-putih, desa jelas menampakkan wajah yang paradoks
dan berdosa. Tidak demikian dengan Khud. Baginya, peristiwa ini bukanlah
pertempuran antara kebaikan
dan kejahatan, antara hitam dan putih dan barangkali abu-abu, antara
yang santri dan abangan dan seterusnya. Tapi sebuat pergelutan mereka
yang berpandangan hitam-putih, mereka yang ingin mengeksploitasi
Jatirejo menjadi komoditas untuk melanggengkan bisnis dan politik, dan
ragam wajah lain.
Keruwetan itu malah sengaja dipelihara bahkan
dipertahankan kaum “pembesar” dengan berbagai alasan yang ujung-ujungnya
sangat klasikal; kepentingan pribadi. Tidak lama dari peristiwa ramenya pro-kontra
pabrik minuman keras, bom waktu pun meledak. Sidoarjo jadi headline
media selama berbulan-bulan (bahkan bisa jadi bertahun-tahun?). Lumpur
yang muntah tanpa kompromi itu penanda bumi protes dengan caranya
sendiri. Dia kesakitan tubuhnya dibor kaum yang munafik, serakah dan
palsu.
Saat warga Jatirejo, Renokenongo, Siring dan lainnya sibuk
menyelamatkan harta bendanya, Khud, juga terlihat sibuk. Tapi yang
dibawanya hanya lukisan-lukisan Bapak almarhum. Sementara gebyok kayu,
kursi dan meja antiknya dibiarkan begitu saja diterjang lumpur. “Bapak
dulu melukisnya dengan jiwa, ini harta paling mahal keluarga kami,”
ujarnya. Begitulah catatan Khud.
Akhirnya, “Saya kini tiap hari
duduk di pinggir tanggul, menghisap kretek, memandangi rumah dan
kehidupan kami di masa lalu dan misteri Tuhan yang masih tersisa, kenapa
kami yang miskin ini yang dilindas bencana???”.
(Wong alus)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar