Ini dua buah hadits tentang perlunya kecintaan kepada Rasulullah saw….
Pertama,
mengisahkan seorang pedagang minyak goreng di Madinah. Setiap kali dia
hendak pergi, termasuk pergi ke pasar, dia selalu melewati rumah
Rasulullah saw. Dia selalu singgah di tempat itu sampai dia puas
memandang wajah Rasul.
Setelah itu ia pergi ke pasar. Suatu saat
setelah melepaskan rindunya kepada Rasul, seperti biasanya ia pergi ke
pasar. Tapi tidak berapa lama setelah itu, dia datang lagi. Nabi
terkejut sehingga bertanya, “Kenapa kau balik lagi?” Ia menjawab, “Ya
Rasulullah, setelah saya sampai di pasar hati saya gelisah. Saya ingin
kembali lagi. Izinkan saya memandang Engkau sebentar saja untuk
memuaskan kerinduan saya.” Kemudian Rasul berbincang-bincang dengan
orang itu.
Tidak lama setelah itu Nabi tidak lagi melihat tukang
minyak itu lewat di depan rumahnya. Berhari-hari orang itu tidak lagi
kelihatan batang hidungnya di depan Rasulullah saw. Lalu Rasul mengajak
sahabat-sahabatnya untuk menjenguk dia. Berangkatlah mereka ke pasar dan
mendapat kabar bahwa orang itu telah meninggal dunia. Rupanya pertemuan
sampai dua kali waktu itu merupakan isyarat bahwa dia tidak bisa lagi
memandang wajah Rasulullah saw.
Rasul bertanya kepada orang-orang
di pasar, “Bagaimana akhlak orang itu?” Mereka berkata, “Orang itu
pedagang yang sangat jujur. Cuma ada sedikit saja, orang ini senang
perempuan.” Kemudian Rasul berkata, “Sekiranya orang itu dalam dagangnya
agak lancung sedikit, Allah akan mengampuni dosanya karena kecintaannya
kepadaku.” Tetapi orang itu sangat jujur dan kecintaannya kepada Rasul
dibuktikan dalam kejujurannya di dalam berdagang.
Hadits kedua
menceritakan bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah saw sedang
berbincang-bincang dengan para sahabatnya, seorang pemuda datang
mendekati Rasul sambil berkata, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu.” Lalu
Rasulullah saw berkata: “Kalau begitu, bunuh bapakmu!” Pemuda itu pergi
untuk melaksanakan perintah Nabi. Kemudian Nabi memanggilnya kembali
seraya berkata, “Aku tidak diutus untuk menyuruh orang berbuat dosa.”
Aku hanya ingin tahu, apa betul kamu mencintai aku dengan kecintaan yang
sesungguhnya?”
Tidak lama setelah itu, pemuda ini jatuh sakit
dan pingsan. Rasulullah saw datang menjenguknya. Namun pemuda itu masih
dalam keadaan tidak sadar. Nabi berkata, “Nanti kalau anak muda ini
bangun, beritahu aku.” Rasululah saw kemudian kembali ke tempatnya.
Lewat tengah malam pemuda itu bangun. Yang pertama kali ia tanyakan
ialah apakah Rasulullah saw telah berkunjung kepadanya.
Diceritakanlah
kepada pemuda itu bahwa Rasulullah saw bukan saja berkunjung, tapi
beliau juga berpesan agar diberitahu jika pemuda itu bangun. Pemuda itu
berkata, “Tidak, jangan beritahukan Rasulullah saw. Bila Rasulullah
harus pergi pada malam seperti ini, aku kuatir orang-orang Yahudi akan
mengganggunya di perjalanan.” Segera setelah itu, pemuda itu
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Pagi hari usai shalat
subuh, Rasulullah saw diberitahu tentang kematian pemuda itu. Rasul
datang melayat jenazah pemuda itu dan berdo’a dengan do’a yang pendek
tetapi sangat menyentuh hati, “Ya Allah, sambutlah Thalhah di sisi-Mu,
Thalhah tersenyum kepada-Mu dan Engkau tersenyum kepadanya.”
Dengan
hal itu Nabi menggambarkan kepada kita, bahwa orang yang mencintainya
akan dido’akan oleh Nabi untuk berjumpa dengan Allah swt. Allah akan
ridha kepadanya dan dia ridha kepada Allah. Dia tersenyum melihat Allah
dan Allah tersenyum melihatnya.
Dua hadits di atas menceritakan
kepada kita tentang pentingnya mencintai Rasulullah saw. Sudah sering
kita mendengar hadits yang berbunyi, “Belum beriman kamu sebelum aku
lebih kamu cintai daripada dirimu, anak-anakmu, dan seluruh ummat
manusia.”
Oleh karena itu, marilah kita dengan berbagai cara agar
tetap memupuk kecintaan kepada Rasulullah, kepada sesama manusia,
kepada semua mahkluk, dan kepada Tuhan Sang Pecinta Sejati. Kita pantas
bertanya kenapa kita diharapkan secara sukarela menabur cinta tidak
terkecuali kepada Rasulullah? Untuk menjawab pertanyaan ini dan sebagai
penutup saya nukilkan sebuah kisah tentang sifat sifat suci Sang Rasul
Akhir Jaman ini yang ditulis Jalaluddin Rumi dalam buku Al-Matsnawi.
Pada
suatu hari di mesjid, Rasul kedatangan serombongan kafir yang meminta
untuk bertamu. Mereka berkata, “Kami ini datang dari jarak yang jauh,
kami ingin bertamu kepada Engkau, Ya Rasulullah.” Lalu Rasul
mengantarkan para tamu tersebut kepada para sahabatnya. Salah seorang
kafir yang bertubuh besar seperti raksasa tertinggal di mesjid, karena
tidak ada seorang sahabat pun yang mau menerimanya. Dalam syair itu
disebutkan, ia tertinggal di mesjid seperti tertinggalnya ampas di dalam
gelas. Mungkin para sahabat takut menjamu dia, karena membayangkan
harus menyediakan wadah yang sangat besar.
Lalu Rasul membawa dan
menempatkannya di sebuah rumah. Dia diberi jamuan susu dengan
mendatangkan tiga ekor kambing dan seluruh susu itu habis diminumnya.
Dia juga menghabiskan makanan untuk delapan belas orang, sampai orang
yang ditugaskan melayani dia jengkel. Akhirnya petugas itu menguncinya
di dalam. Tengah malam, orang kafir itu menderita sakit perut. Dia
hendak membuka pintu tapi pintu itu terkunci. Ketika rasa sakit tidak
tertahankan lagi, akhirnya orang itu mengeluarkan kotoran di rumah itu.
Setelah
itu, ia merasa malu dan terhina. Seluruh perasaan bergolak dalam
pikirannya. Dia menunggu sampai menjelang subuh dan berharap ada orang
yang akan membukakan pintu. Pada saat subuh dia mendengar pintu itu
terbuka, segera saja dia lari keluar. Yang membuka pintu itu adalah
Rasulullah saw.
Rasul tahu apa yang terjadi kepada orang kafir
itu. Ketika Rasul membuka pintu itu, Rasul sengaja bersembunyi agar
orang kafir itu tidak merasa malu untuk meninggalkan tempat tersebut.
Ketika
orang kafir itu sudah pergi jauh, dia teringat bahwa azimatnya
tertinggal di rumah itu. Jalaluddin Rumi berkata, “Kerasukan mengalahkan
rasa malunya. Keinginan untuk memperoleh barang yang berharga
menghilangkan rasa malunya.” Akhirnya dia kembali ke rumah itu.
Sementara
itu, seorang sahabat membawa tikar yang dikotori oleh orang kafir itu
kepada Rasul, “Ya Rasulullah, lihat apa yang dilakukan oleh orang kafir
itu!” Kemudian Rasul berkata, “Ambilkan wadah, biar aku bersihkan.” Para
sahabat meloncat dan berkata, “Ya Rasulullah, engkau adalah Sayyidul
Anâm. Tanpa engkau tidak akan diciptakan seluruh alam semesta ini.
Biarlah kami yang membersihkan kotoran ini. Tidak layak tangan yang
mulia seperti tanganmu membersihkan kotoran ini.” “Tidak,” kata Rasul,
“ini adalah kehormatan bagiku.” Para sahabat berkata, “Wahai Nabi yang
namanya dijadikan sumpah kehormatan oleh Allah, kami ini diciptakan
untuk berkhidmat kepadamu. Kalau engkau melakukan ini, maka apalah
artinya kami ini.”
Begitu orang kafir itu datang ke tempat itu,
dia melihat tangan Rasulullah saw yang mulia sedang membersihkan kotoran
yang ditinggalkannya. Orang kafir tidak sanggup menahan emosinya. Ia
memukul-mukul kepalanya sambil berkata, “Hai kepala yang tidak memiliki
pengetahuan.” Selanjutnya, dia memukul-mukul dadanya sambil berkata,
“Hai hati yang tidak pernah memperoleh berkas cahaya.”
Wong Alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar