Kerusakan moral dan mental
generasi penerus bangsa semakin parah. Diperlukan koreksi total dengan
cara membangkitkan sebuah gerakan moral, intelektual dan religius secara
bersama-sama agar peradaban kita bisa semakin manusiawi dan religius.
Artikel ini adalah sekedar gagasan sederhana dari saya: Wong Alus.
Tidak
selamanya menggunakan pendekatan ilmiah untuk menganalisa sesuatu
persoalan itu akan menghasilkan kepuasan serta “kebenaran”. Pada titik
tertentu, kita akan berhadapan dengan tembok yang dinamakan keterbatasan
ilmu pengetahuan. Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder dalam bukunya Science
in Our Life (1955), dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Tentu
saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain; mengapa manusia mulai
mengamati sesuatu?
Kalau kita telaah lebih lanjut ternyata bahwa
kita mulai mengamati obyek tertentu bila kita mempunyai perhatian
tertentu terhadap obyek tersebut. Perhatian tersebut dinamakan John Dewey
sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan ketika kita
menemukan sesuatu pengalaman yang menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan ini
timbul disebabkan adanya kontak manusia dengan dunia empiris.
Kesimpulannya, karena ada masalahlah maka kegiatan proses kegiatan
berpikir itu dimulai, dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris
maka proses berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan obyek yang
bereksistensi dalam dunia empiris pula.
Pendek kata, “pisau”
metode ilmiah hanya layak digunakan untuk memotong, membedah dan
mencincang obyek-obyek empiris. Bagaimana dengan obyek-obyek yang meta
empiris seperti rasa keadilan, rasa kasih sayang,
ketuhanan, kemanusiaan, nilai-nilai? (Manusia adalah obyek yang meta
empiris karena dirinya memiliki tubuh, jiwa dan roh). Tentu saja
metodenya harus yang lain. Di dalam khazanah epistemologi (filsafat
pengetahuan), untuk mengenali obyek ontologis yang beragam dan
selanjutnya diproses menjadi pengetahuan maka manusia ditakdirkan
memiliki berbagai sumber pengetahuan. John Hospers dalam bukunya An
Intoduction to Philosophical Analysis (1967), mencatat sumber-sumber
pengetahuan tersebut yaitu pengalaman indera, nalar, otoritas, intuisi,
wahyu (revelation) dan keyakinan (faith).
Bila selama ini analisis (memecah menjadi bagian bagian kecil) dan sintesis
(yang kecil dan terpecah pecah itu disatukan kembali) tentang keharusan
untuk bangkit dari bencana lumpur di Porong banyak dilakukan dengan
indera, nalar dan otoritas (tiga hal yang terlalu “Otak Kiri” ini biasa
dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan) maka tidaklah lengkap
kiranya jika tidak dilengkapi dengan intuisi , wahyu, dan keyakinan.
Intuisi, menurut John Hospers, adalah suatu kemampuan yang ada pada diri
manusia yang berupa proses kejiwaan dengan tanpa suatu rangsangan atau
stimulus mampu membuat pernyataan yang berupa pengetahuan. Pengetahuan
yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika atau
melalui kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengalaman
lebih dahulu.
Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada
suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan
tersebut. Intuisi bersifat personal
dan tidak bisa diramalkan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan
sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menemukan benar
tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuitif dan analitik
bisa bekerja saling membantu.
Menurut Maslow dalam George F.Kneller, Introduction to the Philosophy
of Education (1969) intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak
experience) sedangkan bagi Nietzsche merupakan intelegensi yang paling
tinggi. Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada utusannya
(rasul, avatar, nabi) untuk kepentingan manusia. Kita mempunyai wahyu
karena adanya kepercayaan (belief) tentang sesuatu yang disampaikan itu.
Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui wahyu akan melaksanakannya
dengan baik.
Keyakinan adalah suatu kemampuan manusia yang
diperoleh melalui kepercayaan. Keyakinan terhadap wahyu yang secara
dogmatik diikuti merupakan peraturan yang berupa agama. Sedangkan
keyakinan melulu kemampuan kejiwaan manusia yang merupakan pematangan
dari kepercayaan. Kepercayaan bersifat dinamis dan mampu menyesuaikan
dengan keadaan, sedangkan keyakinan bersifat statis kecuali ada
bukti-bukti baru yang lebih cocok dan akurat.
Ketiga sumber
pengetahuan itu hakikatnya tidak bisa dipisahkan secara tegas karena
saling berpautan satu sama lain. Sama seperti indera dan nalar, ketiga
sumber terakhir juga berasal dari realitas empiris yang dihadapi manusia
sehari-hari yang kemudian direfleksikan, diamati sehingga muncul
intuisi dan pencocokan realitas terhadap intelek yang melahirkan wahyu
dari Tuhan sebagai petunjuk untuk menuju jalan yang benar. Semua sumber
pengetahuan baik akal, nalar, otoritas, intuisi, wahyu dan keyakinan itu
lebih ideal kiranya digunakan untuk menyusun sebuah gerakan moral, intelektual dan religiusitas “INDONESIA CEPAT BANGKIT MENUJU TUHAN”
Kredo
seperti ini perlu ditindaklanjuti dengan amal yang nyata oleh obyek dan
subyek pembangunan yaitu manusia Indonesia. Rasa-rasanya, agama manapun
menganjurkan agar manusia senantiasa berpikir positif dalam menyikapi
semua gejala baik yang menyakitkan maupun yang membahagiakan hati.
Sabar, ikhlas, dan tawakkal menerima semua cobaan karena ini merupakan
jalan menuju Tuhan.
Saya ingin memecah GAGASAN BESAR itu menjadi
dua GAGASAN yang keduanya sarat makna dan arti. Yang pertama adalah
“INDONESIA CEPAT BANGKIT” dan yang kedua adalah “MENUJU TUHAN” Sinonim
dengan “benda” yang lain, Indonesia juga merupakan “benda” yang dulunya
dibuat oleh para founding fathers
–nya di masa lalu. Sama seperti “benda”, Indonesia pada suatu ketika
akan mengalami kerusakan bila tidak ada usaha untuk memperbaikinya
–HUKUM ENTROPI mengatakan bahwa semua hal akan rusak dan binasa. Kenapa
Indonesia bisa rusak? Karena Indonesia adalah hasil bentukan olah nalar
dan olah batin manusia juga, maka kerusakannya juga bersumber dari
aktivitas manusia yang merusak. Sebaliknya Indonesia bisa terus lestari
bila ada manusia yang menjaga, merawat, mengabadikannya.
Aktivitas
manusia yang dilatarbelakangi oleh kegelisahan, kemarahan,
ketidakikhlasan karena HAK-HAK RAKYAT YANG TERCABUT PAKSA. Sehingga energi
kemarahan dan ketidakpercayaan warga ini akan merusak Indonesia secara
metafisis selain yang sudah jelas-jelas rusak secara fisik yaitu
infrastruktur yang amburadul, investasi yang mandeg, ekonomi lokal dan
interlokal yang terganggu. Maka, gagasan “INDONESIA CEPAT BANGKIT” ini
bisa dipahami dalam rangka bagaimana menjaga, merawat dan melestarikan
negara kepulauan yang kaya akan hasil alam ini. Kredo merupakan “ayat-ayat” (baca: tanda-tanda) masih adanya umat manusia di jaman ini yang memancarkan cahaya keilahian di bumi.
Kredo,
kata-kata, sebagaimana juga mantera, selalu bermuatan makna dan di
dalam makna selalu termuat sebuah energi tertentu. Energi Indonesia
bangkit adalah sebuah ajakan moral (moral ought) untuk membangun kembali
daerah kita setelah sekian lama
diombang-ambingkan dalam keraguan. Bila kita sepakat bahwa hanya ada
dua jalan yang dilalui oleh manusia di dunia yaitu jalan Tuhan dan jalan
yang bukan Tuhan, maka kita tidak ragu untuk mengatakan munculnya
berbagai bencana adalah tanda-tanda kecintaan Tuhan pada kita agar
kembali menyadari arah dan tujuan perjalanan kita sebagai manusia oleh
sebab itu bangsa kita harus selekasnya kembali MENUJU TUHAN, yaitu jalan
terbaik yang telah ditetapkan oleh Tuhan: Menjauhi larangan-Nya dan
mentaati perintah-Nya.
Warga Indonesia yang diterpa “kematian”
semangat untuk menjalani hidup di jalan yang bukan Tuhan akan disusul
dengan “kebangkitan” dari “kematian” setelah mendapatkan aufklarung,
atau pencerahan (enlightenment). Mereka akan kembali berjalan di jalan
Tuhan hingga siap “MENUJU TUHAN.” Nah,sekarang berapa waktu yang
dibutuhkan agar bangsa kita secepatnya MENUJU TUHAN tersebut” ? Lima
tahun mendatangkah? Sepuluh tahun mendatangkah? Seratus tahun
mendatangkah? Seribu tahun mendatangkah? Sejuta tahun mendatangkah?
Tidak
ada manusia pun di muka bumi yang bisa menikmati hidup di dunia
selama-lamanya. Memahami secara logis hal ini berarti kita akan semakin
sadar bahwa hidup kita dan juga benda-benda “milik” kita serta hasil
karya yang kita klaim milik kita semuanya akan terkubur bersama mimpi
kita akan hidup abadi di dunia. Adalah keniscayaan yang tidak
terbantahkan bahwa kita semua adalah kita menjadi tua, mati, masuk ke
alam kubur, dan menuju perjumpaan dengan Tuhan yang Maha Hidup, yang
berada di luar kumparan dimensi ruang dan waktu, Yang Awal dan Yang
Akhir.
Oleh karena itu gerakan moral, intelektual dan
religiusitas “INDONESIA CEPAT BANGKIT MENUJU TUHAN” sungguh-sungguh
mendalam maknanya secara spiritual. Kredo ini menganjurkan agar setiap
individu dan setiap elemen masyarakat kembali ke ‘khittah’nya sebagai
INSAN KAMIL. Insan yang menyadari perjanjian antara ruh dengan Tuhan
sebelum dia dilontarkan ke dunia yang fana ini. Setelah kesadaran itu
lahir dan selanjutnya menyadari kekhalifahan manusia di bumi dengan iman
dan amal sholeh maka sangat ideal bila dikonsepsikan dalam aras
pembangunan nasional dalam wujud KONSEP PEMBANGUNAN NASIONAL BERBASIS
INSAN KAMIL. Sehingga konsep PENGENTASAN KEMISKINAN, PEMBANGUNAN
PENDIDIKAN, ATAU EKONOMI KERAKYAAN akan tercerahkan dengan model
pendekatan yang selanjut-lanjutnya itu.
Model pendekatan INSAN
KAMIL itu saya yakin lebih komprehensif, lebih holistik, lebih
membahagiakan, lebih menentramkan dan lebih “benar” dari pada model
pembangunan yang bertumpu pada teori-teori barat yang sekular dan
antroposentris. Rakyat Indonesia menyadari bahwa perjuangan untuk
mengembalikan citra Indonesia akan cukup berat. Perjuangan itu
memerlukan waktu, tahapan dan bukti kerja keras dari seluruh elemen
masyarakat dengan ujung tombak yaitu Pemkab Indonesia. Kerja keras yang
dimaksud tentu merupakan amal setelah kita mengimani dan mengikhsani
berbagai nilai-nilai ketuhanan yang terpancar dari kesadaran nurani yang
paling dalam. Wujud kongkret sebagai insan kamil, adalah kehendak untuk
bekerja keras sesuai dengan TUJUAN NEGARA sebagaimana yang telah digariskan oleh para founding fathers kita dalam PEMBUKAAN UUD 1945. Semoga Tuhan melapangkan jalan manusia Indonesia ke arah perjumpaan dengan-Nya, SECEPATNYA.
Wong Alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar