Ini ide kecil saya tentang apa yang bisa diperankan oleh ulama bangsa
kita agar Indonesia bisa bangkit dari krisis multidimensi yang mendera
bangsa kita. Lebih kurangnya saya mohon maaf.
Saya ingin memulai
uraian saya ini dengan sebuah ilustrasi sederhana… seorang ayah ditanya
oleh anaknya tentang “dimana Tuhan itu berada?” Sang Ayah sadar bahwa
pertanyaan itu tidak mungkin dijawab dengan pernyataan: “Tuhan itu ada
di langit atau ada di surga, sebab keberadaan-Nya mengatasi ruang dan
waktu.” Lalu ayah yang bijaksana ini menyuruh anak untuk mengambil
sehelai kertas dan sebuah pensil, dan memintanya untuk menggambar sebuah
rumah. Setelah selesai, sang ayah bertanya “Sekarang, kamu di mana?”
Si
anak kemudian menggambarkan dirinya di kertas itu sambil berkata, “Ini
pak, saya duduk di depan rumah sedang belajar naik sepeda.” Ayah lalu
memberi komentar sambil bertanya: “Wah bagus benar gambarmu, tapi itu
kan gambar kamu, dan bukan kamu yang sesungguhnya?. Kamu tidak mungkin
tertampung dalam selembar kertas.
Secara analogis, sang ayah lalu
menutup dialog dengan si anak dengan suatu pernyataan: “Allah itu Maha
Besar, seluruh alam termasuk manusia itu adalah ciptaan-Nya, sehingga
tidak mungkin menampung Dia.” Bahkan semua ini “digenggam dalam
tangan-Nya”, atau seperti titik yang jumlahnya tidak terhingga pada
suatu garis.
Ilustrasi ini bisa jadi bahan perenungan yang
menarik sehingga sangat arif dan wajar bila dengan bertambahnya usia,
kita akan mampu menjelaskan hal-hal kecil, termasuk soal-soal ketuhanan
dengan pemikiran yang holistik, menyeluruh, tidak parsial atau tidak
sepotong-sepotong. Sehingga kita semua akan mendapat hidayah, petunjuk
dari Allah SWT karena kita gigih untuk terus mengoreksi diri terhadap
pendapat, gagasan, ide, termasuk keyakinan kita. Karena bisa jadi
pendapat yang kita yakini itu salah dan justeru menjadi illah-illah
(Tuhan) baru. Padahal, Tuhan sudah berfirman: La illaha illallah, tiada
illah selain Allah!
Dengan bahasa sederhana., Dzat Tuhan itu
berbeda dengan apa yang kita persepsikan, kita anggap, kita pikirkan.
Kita semua hanya bisa memikirkan apa yang menjadi ciptaan-Nya,
karya-Nya, jejak-Nya yang sangat jelas di depan mata ini. Ini semua
adalah karya Allah SWT, termasuk tubuh, detak jantung, nafas, dan
pikiran kita saat ini, detik ini. Semuanya ini karya Allah yang Maha
Menciptakan… Allahu Akbar!!!
Pola pikir menyeluruh atau holistik ini
akan kita pergunakan untuk menyoroti peran ulama dan umaro dalam
pembangunan. Saya menganggap pola pikir yang demikian ini sangat penting
agar kita tidak terjebak dalam kesempitan pandangan, sedemikian
mudahnya kita menyalahkan atau mengkafirkan pihak yang satu untuk
membenarkan pihak yang lain. Mencap pihak yang lain sebagai pihak yang
sesat dan seterusnya. Padahal, jangan-jangan diri kita yang sesat? Sebab
hanya Allah SWT yang memiliki kebenaran mutlak dan bebas dari
kesalahan. Yang lain berkadar kebenaran relatif saja.
Penyangga Bumi
Ulama
adalah songgo buwono, penyangga bumi, atau penentu maju tidaknya
peradaban justeru karena dia dekat dengan Allah SWT. Peradaban yang
semakin maju, modern, dan sekaligus sekuler memunculkan berbagai dampak
yang tiada disangka-sangka. Salah satu yang paling esensial adalah
penjungkirbalikan tata nilai. Nilai holistik kemanusiaan ketuhanan yang
sebelumnya ‘wungkul’ di masa Rasulullah, Muhammad SAW, menjadi tercerai
berai sehingga dengan mudah kita memisahkan urusan dunia dan urusan
akhirat, urusan negara terpisah dengan urusan agama, termasuk urusan
ulama dan urusan umaro (pemimpin negara/daerah/kawasan). Pada titik ini,
peran agama terreduksi menjadi hanya mengurusi urusan akhirat saja.
Kapan
berbagai urusan ini terpisah? Dalam Babad Tanah Jawa, yang terpengaruh
dengan sinkretisme Hindu-Budha-Islam sudah dikenal berbagai kasta yang
memisahkan antara golongan brahmana dan ksatria. Kehadiran sembilan wali
di tanah Jawa, pada akhirnya harus berhadapan secara diametral dengan
golongan penguasa di kerajaan-kerajaan. Pada jaman itu, ulama memiliki
peran sebagai tempat bertanya, tempat mereguk ilmu-ilmu akhirat
sekaligus sebagai tempat para calon raja mendapatkan restu yang nantinya
bisa diangkat sebagai raja.
Raja (Umaro) mengatur urusan dunia,
dan wali (ulama) memiliki urusan akhirat. Yang perlu dicatat bahwa pada
masa wali songo ini, peran raja subordinat dengan para wali. Sedemikian
hingga untuk urusan tertentu seperti suksesi kekuasaan, para keturunan
raja ini harus meminta petunjuk dari para wali, untuk seterusnya oleh
para wali diteruskan dengan berdoa kepada Allah SWT untuk meminta
wangsit, petunjuk dan hidayah siapa yang cocok menjadi pemimpin.
Kini,
semuanya berubah. Terpaan budaya global telah meluluhlantakkan budaya
asli Jawa, budaya sukuisme, budaya kita sampai ke yang paling privat di
rumah kita. Pada skala massif, peradaban juga berubah, tata nilai
berubah, penghayatan kita pada ajaran agama juga berubah, kerajaan
berubah menjadi negara dengan kehendaknya yang supersekuler. Kemana arah
perubahan itu?
Hukum kedua termodinamika mengatakan bahwa
perubahan itu mengarah pada kerusakan. Hukum ini tidak hanya berlaku
pada benda, tetapi juga pada aras moral, peradaban kebudayaan. Ini juga
sesuai dengan ajaran agama kita bahwa pada saatnya nanti pergelaran alam
semesta ini akan digulung, itulah hari akhir. Dan tidaklah Kami
ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan
dengan benar. Dan sesungguhnya as-Sa‘ah (Hari Kiamat) itu pasti akan
datang. (Q.s. al-Hijr: 85).
Berbagai perubahan di atas
mengharuskan kita untuk beranggapan bahwa suka tidak suka kita juga
dituntut untuk merevolusi paradigma kita terhadap fakta, faktor, peran
dan fungsi ulama dan umaro. Sehingga masing-masing individu apapun dia
berperan akan mampu memposisikan diri sebagai hamba Allah SWT yang
ikhlas.
Pikir Dzikir
Setiap kita adalah pemimpin. Ya bagi diri
sendiri, bagi keluarga, bahkan juga bagi dua, tiga, empat orang dan
seterusnya. Hingga atas karunia Allah SWT, kita diamanati untuk menjadi
pemimpin bagi umat atau pemimpin bagi sebuah wilayah. Sehingga sangat
wajar bila harus mengemban amanah itu untuk memayu hayuning bawono,
melukis kanvas kehidupan ini dengan indah sesuai dengan peran kita
apakah itu sebagai ulama atau umaro.
Kita hidup di alam yang
semua serba terspesialisasi, terstruktur secara jelas dan tegas. “Jangan
coba-coba masuk bidang lain bila tidak ingin dicap sebagai orang yang
tidak profesional” begitu kira-kira pesan jaman postmodern ini. Seorang
negarawan atau politikus tidak selayaknya memimpin sebuah lembaga
peradilan, karena melanggar prinsip trias politika. Seorang insinyur
sipil tidak selayaknya menjadi pilot pesawat terbang karena hampir pasti
pesawatnya akan jatuh.
Seterusnya hingga berlanjut pada
pernyataan bahwa janganlah seorang ulama masuk ke medan politik dengan
mengajak umat untuk mencoblos A,B, atau C karena memang itu bukan
bidangnya. Biarlah urusan politik menjadi urusan politikus saja. Jangan
takut kehilangan peran karena kaum ulama memiliki peran besar sebagai
kekuatan penyangga moral-spiritual bangsa ini. Tugasnya adalah
meneruskan risalah kenabian yang pembuktiannya akan nampak dalam
perilakunya yang bisa diteladani (segi individual) dan kemanfaatannya
untuk membangun moral spiritual masyarakat dan peradaban secara riil.
Bukankah
ini tugas yang berat namun mulia yang diemban tidak hanya oleh kalangan
ulama?? Marilah kita mulai dari sekarang, di sini, di tempat yang mulia
ini kita berubah untuk kembali berbenah dan ndandani bangsa dan negara
ini. Saya ingat ucapan Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa kita
memulai perubahan menuju kebaikan bisa datang dari mana saja, dari titik
mana saja, dari sudut dan bidang apa saja.
Dari legenda pada
masa awal penataan kehidupan Islami di Jawa (Demak), kita ketahui bahwa
binatang “orong-orong” yang mati bisa dihidupkan kembali setelah
disambung oleh serpihan kayu jati oleh Sunan Kalijaga. Kita tentu tahu
bahwa “orong-orong” itu mengacu ke orang-orang yang berkat tadzakkur
akan menjalani hidup secara individual, karena dengan dzikir, kepala
(Pikiran) dan dada (Rasa/Batin) menjadi tersambung kembali.
Strategi
kehidupan Islami menurut Sunan Kalijaga ternyata tidak hanya berhenti
pada tataran individual semata. Masyarakat Indonesia, Indonesia dan
Krembung memerlukan qalbu dan jantung yang memompakan irama ritmik
Islami. Kita menjadi paham bahwa fungsi Masjid disamping sebagai tempat
sujud, juga sebagai tempat penegak risalah ilmu tauhid. Perangkat sosial
politik pun mulai ditata oleh Pemerintah dengan konsep dwi tunggal
ulama-umaro, yaitu kesatupaduan Sunan (Ulama) dan Sultan (Umaro).
Tugas
masjid kini semakin menjadi jelas yaitu membimbing umat untuk tetap
berpegang pada dalil La Khaula wa la quwwata illa billah, kita kuat
bukan karena makan dan minum tapi kita kuat karena perkenaan-Nya.
Hubungan
antara Pemerintah dan Masjid sebagai markas kaum ulama ialah seperti
hubungan antara kepala dan dada, antara akal dan qalbu, pikir dan
dzikir. Itulah suatu pola hubungan yang sejalan dengan harapan kita
semua. Kedua-duanya harus saling bersinergi karena dengan akal dan qalbu
itulah kita bisa hidup dengan muthmainah, dengan jiwa yang tenang yang
merupakan ciri-ciri manusia yang masuk surga.
Semoga artikel di blog yang sedikit ini bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Wong Alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar